Sebuah Surat untuk Bulan

101 6 0
                                    

Sebuah Surat untuk Bulan

Waktu menginjak pukul 22.15, sedangkan polisi masih terus mengobrak-abrik tempat itu. Setiap inchinya di teliti betul. Disanalah tempat terakhir sebelum suami tercintanya beranjak pergi menyelamatkan nyawanya.

Sewindu setelah resmi menjanda, kini Bulan menjadi wanita paruh baya yang sering menyendiri, dingin, ahli menyimpan luka, dan terlalu mandiri hingga tak ingin bergantung pada orang lain. Beribu hari hidup dan menghidupi anak-anaknya sendirian, Bulan masih enggan membuka hati bagi siapapun. Padahal meskipun sudah tidak lagi muda, ia masih terlihat segar, cantik, dan awet muda. Ditambah dengan harta peninggalan almarhum suaminya, ah! Dia sungguh wanita yang sangat matang. Banyak sekali pria yang ingin memperistrinya, harusnya tinggal cap cip cup saja. Namun bunga masih terjebak nostalgia. Suaminya adalah cinta pertama dan terakhirnya.

....

"maaf nyonya, tapi ini sudah larut, kami rasa penyelidikan harus kami sambung esok hari. Anda istirahatlah, kami pastikan penyebab kematian suami nyonya segera kami temukan." Ucap Tuan Fang.

"ah, iya. Kalian pulanglah, lanjutkan penyelidikannya esok hari." Jawabku.

"baiklah, anak-anak. ayo kita kembali. " ajak Tuan Fang pada kedua anggota tim nya.

"oh, tunggu sebentar Tuan !" sahut salah satu anggota tim penyelidikan.

Mereka semua lantas berbalik. Pria tersebut mendongakkan wajahnya keatas lalu menyipitkan mata. Tuan Fang menatapnya dalam-dalam.

"Ada apa, Xu?" Tanya Tuan Fang pada pria bermarga Xu itu.

"lihatlah tuan !, aku merasa tembok itu sedikit mengganjal." Tunjuknya pada sudut tembok diatas lemari buku suamiku. Semua mata kini tertuju pada tembok itu. Tuan Fang mendekat. Suaranya yang cukup keras kini sampai menarik perhatian putra pertama ku Ryan untuk turut hadir di lokasi penyelidikan. "Benar, mengapa kita tidak pernah menyadarinya!. Tembok itu sedikit berbeda dari tembok sekelilingnya. Mungkin karena tembok itu berada diatas lemari buku tuan Ben jadi kita tidak pernah memperhatikannya." Ucap anggota tim yang lain.

"Mohon maaf, nyonya. Tapi apakah boleh kami meneruskan penelitian ini sebentar? Kami rasa kami tidak bisa tinggal diam melihat hal mencurigakan seperti itu." Tanya Tuan Fang. Aku hanya menganggukan kepala. "Silahkan, lebih cepat lebih baik." Sambungku.

Tuan Fang dan anak buahnya pun melanjutkan penyelidikan. Diraihnya meja kerja suamiku lantas menyusunnya dengan sebuah kursi agar bisa naik ke atas leamri buku yang tingginya sekitar tiga per empat ruang kerja ini. Selanjutnya pria bermarga Xu itu telah sampai diatas lemari buku. Lalu merangkak mendekati tembok aneh itu. Usai memasang kaos tangannya, ia lantas mengusap tembok itu dengan hati-hati.

"tembok ini memiliki permukaan yang berbeda dengan tembok sekitarnya." Ucapnya.

"apakah ruang kerja Tuan Ben pernah mengalami renovasi, nyonya?" Tanya Tuan Fang.

"tidak. Keseluruhan rumah ini hanya pernah di renovasi sekali, saat itu saya sedang hamil Junghyun. Ben ingin membuat ruang bermain untuk Hyun dan calon adiknya. Setelah itu tidak pernah lagi sampai sekarang." Jelasku.

Setelah mendapat persetujuan dariku mereka pun melanjutkan aksinya. Tembok itu di kikis perlahan untuk mengetahui dalamnya. Setelah lapisannya terkikis habis, tampaklah permukaan kayu pada tembok itu.

"Ibu istirahat saja, biar Hyun yang memantau disini." Ucap Junghyun yang melihatku memijit kening sembari duduk di sofa.

"tidak, Hyun-ie. Ibu harus tetap disini sampai mereka selesai."

"Bu.." Sahutnya.

Ah! Baiklah. Aku memang tak bisa tidak menuruti putraku untuk kali ini. Lagipula Junghyun juga sudah dewasa. Biar dia saja yang memantau penyelidikan malam ini. Aku harus istirahat. Setelah mengantarku kembali ke kamar, Hyun pun bergegas menuju ruang kerja almarhum ayahnya.

Permukaan kayu itu tampak seperti sebuah pintu. Setelah Hyun kembali ke tempat itu kini Tuan Fang yang berada diatas lemari buku. Membukanya dengan sangat hati-hati. Namun pintu kayu tersebut cukup sulit dibuka meskipun sudah dengan kasar. Hyun pun mengambil sedikit oli untuk melumas tepi-tepi pintu persegi yang ukurannya sekitar lima belas kali lima belas centimeter itu. Lantas dengan mudahnya pintu itu digeser. Tuan Fang menatapnya tajam. Lalu diambillah sebuah kotak yang besarnya hamper memenuhi ruang yang tertutup pintu persegi tersebut.

Kotak itu diserahkan dengan perlahan pada anggota tim yang berada di bawah. Setelah membersihkan lapisan debu yang menutupi permukaannya tersebut kotak itu di teliti betul. Dan benar saja, disana terdapat sidik jari Ben. Bahkan tidak ada sidik jari lain yang di temukan disana. Kotak itu diserahkan pada Junghyun untuk esok hari diserahkan padaku.

"Tuan Muda, kotak ini langsung saja kami serahkan pada pihak keluarga. Tapi mohon untuk tetap menjaganya, pastikan tidak ada sidik jari lain yang menempel selain orang-orang yang tinggal di rumah ini. Itu akan mempermudah kami sebab tidak ada orang asing yang menyentuhnya. Kami akan kembali esok atau lusa, setelah Nyonya mengetahui isi kotak ini. Tentu saja setelah nyonya memberi komando." Jelas Tuan Fang.

"Baiklah, Tuan. Esok akan saya berikan kotak ini pada Ibu. Ah, iya! Apakah Bibi Choi juga boleh menyentuh kotak ini?" ucap Junghyun.

"Tentu saja. Bukankah Nyonya Choi sudah bekerja disini sejak Tuan belum lahir? Saya rasa itu tidak menjadi masalah. Tapi semua kami kembalikan pada Nyonya Bulan. Kalau begitu kami permisi dulu, Tuan. Selamat malam." Ujar Tuan Fang sembari berjalan meninggalkan rumah kami.

.............

Pagi ini sedikit gelap. Cukup dingin dihujani dedaunan kering. Setelah membantu Bibi Choi merapikan piring sarapan, aku duduk di balkon kamarku. Menikmati dinginnya angin pagi di hari pertama musim gugur.

Junghyun menghampiriku membawa sebuat kotak.

"Kamu nggak ke kantor, Hyun-ie?" ku usap pucuk kepala Junghyun yang kini duduk berjongkok disampingku. "Bu, Hyun akan segera pergi ke kantor. Tapi sebelumnya Hyun ingin memberi ini untuk Ibu, semalam tim Tuan Fang menemukan ini di balik tembok itu. Hyun belum membukanya, sebab Hyun rasa ibu harusnya tau lebih dulu." Ujarnya setelah meletakkan kotak itu di pangkuanku.

"apapun yang ada didalamnya, Ibu harus kuat dan tidak boleh bersedih. Meskipun Hyun-ie tau pasti ibu akan mengingat ayah lagi." Sambungnya.

"hmm.. baiklah, sayang. Ibu mengerti. Sekarang pergilah, jangan sampai terlambat. Berikan teladan yang baik untuk karyawan-karyawanmu. Kalau ada apa-apa yang terjadi pada ibu kan ada adikmu si Shanshan." Jawabku.

"Ibuuuuuu.. berhentilah memanggilku Shanshan. Lalu buat apa dulu ibu dan ayah susah-susah memberiku nama Karina." Sahut putriku yang dating dengan secangkir teh untukku. Kami tertawa gemas melihat tingkahnya yang merengek seperti 16 tahun lalu saat ia masih umur 4 tahun.

"pergilah, kak. Ada aku dan Bibi Choi yang menjaga ibu disini." Sambungnya.

Junghyun mengangguk mengerti, lalu beranjak pergi setelah mencium pipiku.

Setelah menyajikan teh untukku, Karina kembali ke kamarnya. Lalu aku pun kembali fokus menatap kotak berwarna merah kecoklatan itu. Ku putar-putar semua sisinya. Lalu ku buka perlahan. Didalamnya terdapat banyak sekali foto-foto yang warna nya sedikit memudar termakan usia.

Tanpa disadari air mataku lolos begitu saja. Menatap foto seorang gadis berambut hitam panjang tengah mendorong mobil dengan seorang pria paruh baya sambil menyingkap lengan sweater coklatnya itu. "Ah! Ternyata dia memotretku dari dalam." Batinku.

......

LABYRINTH (MYG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang