20. [PARADOX]

912 141 59
                                    

Dulu, tepat pada usia tujuh tahun Yeon Ah pernah membayangkan memiliki kehidupan bak putri raja seperti yang Disney gambarkan. Bukan istana ataupun gaun yang indah, hanya sebuah kata 'Happy Ending' yang selalu tersemat di akhir cerita. Yeon Ah pikir menikah merupakan sebuah akhir dari cerita, di mana semua akan bermuara di satu kata. Ya, 'Happy Ending'.

Masa dewasa itu kutukan. Menyeramkan, ketika semua angan masa kecilmu berbeda tiga ratus enam puluh derajat. Yeon Ah amat tahu hal tersebut, termasuk daftar mimpi 'Happy Ending' ala Disney Princess-nya. Omong kosong, Disney hanya melebih-lebihkan. Mereka hanya menyesuaikan cerita dengan selera anak-anak, dan ya! Akhir cerita yang bahagia selalu hal yang di inginkan anak-anak.

Ariel, si putri duyung tidak memiliki akhir cerita yang manis. Tidak seperti versi Disney, Hans Christian Andersen dalam bukunya 'The Little Mermaid' yang diterbitkan tahun 1837. Di sana dituliskan jelas jika si putri duyung hanya berakhir mati sendirian tanpa cinta yang terbalaskan dari pangerannya. Pinocchio pun sama, dia hanyalah bocah yang lebih buruk dari versi Disney. Kau bisa menilik kembali tulisan Carlo Collodi di judul yang masih sama. Cerita tidak berakhir di bocah kayu yang berubah menjadi manusia, faktanya Pinocchio hanya berakhir mati di gantung di atas pohon. Begitu pula Mulan, menurut versi Tiongkok lama Mulan memang memenangkan perang dan mengabdi pada pasukannya selama dua belas tahun. Ya, hanya itu saja setelah itu ia meminta ijin untuk kembali bersama orang tuanya. Beberapa versi bahkan mengatakan sisi buruknya jika Mulan hanya berakhir bunuh diri, karena mengetahui ayahnya sudah meninggal dan ibunya yang menikah lagi. Sudah aku bilang, Disney hanya menjual omong kosong pada anak-anak yang masih polos.

Iya, Jeon Yeon Ah tahu cerita sebenarnya bahkan sejak usia dua belas. Kecewa? Tentu, tapi bukankah itu semua bagian dari kehidupan? Jadi ia menyadari bahwa semua tidak bisa berakhir sesuai ekspektasi yang kita inginkan. Menyiapkan diri sejak jauh hari akan kehidupan dewasa yang keras, tapi siapa sangka bahwa menjadi dewasa lebih keras dari bayangan awal?

Wanita Jeon itu memang naif, ketika dengan lancang menyematkan doa barangkali pernikahannya berakhir 'Happy Ending' seperti cerita Disney yang ia tahu di masa belia. Ia memang tidak memikirkan pernikahan pada awalnya, namun bilamana harus menikah tentu wanita tersebut hanya menginginkan akhir yang indah, atau paling tidak seperti pasangan lain yang mampu menjalani hingga akhir. Menjadi sosok munafik ketika menggantungkan angan yang mustahil dengan tingkat kegagalan hampir sembilan puluh sembilan persen. Doanya ditolak, bahkan ia baru saja selesai menjalani sidang mediasi pertamanya. Sidang perceraiannya sendiri, ughh! Menyedihkan.

"Happy Ending pantantku," ujar Yeon Ah pada diri sendiri, senyum mengejek lebih di tunjukan pada diri sendiri. Memutar kilas balik dua jam yang lalu, ketika ia dan Seokjin datang ke pengadilan tanpa sepatah kata. Tidak ada percakapan di antara mereka berdua sejak datang hingga pergi meninggalkan gedung, bahkan mereka datang secara terpisah. Beruntungnya, sidang perdana mereka tidak ada kehadiran paparazi dan di lakuan secara tertutup. Seokjin mengaturnya dengan amat baik.

"Yeon Ah, maaf sudah membuatmu menunggu." Jung Jiyeon tersenyum angun menghampiri. Gambaran malaikat benar-benar sesuai dengan wanita Jung tersebut. Ini bukan pertama kali mereka bertemu, tapi tetap saja Yeon Ah selalu merasa kagum dengan visualisasi Jiyeon. Jiyeon itu sempurna, serius! Yeon Ah mengakui hal tersebut. Tidak mengherankan jika Seokjin bisa jatuh hati bahkan tergila-gila pada sosok ini.

"Tidak kok, justru aku yang seharusnya minta maaf karena tiba-tiba datang," jawab Yeon Ah berusaha sebaik mungkin agar tidak terlihat baru saja mengagumi kecantikan Jiyeon.

"Tidak masalah. Oh ya, bagaimana kabarmu?"

"Sudah lebih baik."

"Syukurlah."

IN A BINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang