Satu bulan lebih berlalu begitu saja.
Baik Zeo maupun Adhira tak pernah mengungkit atau membahas masalah mereka lagi. Kali ini Zeo dan teman-temannya pun lebih fokus untuk mengikuti ujian sekolah yang sudah mulai dilaksanakan.
"Yan, lo uda siap belum? Gantian oy," Teriak Neo menggedor pintu kamar mandi.
"Bentar," sahut Dean kesal.
"Ck, cepetlah, gue mau ambil tali pinggang gue elah. Pala ambilin dah lempar kemari." gerutu Neo ikut kesal.
"Ogah, ambil sendiri."
"Ya makanya cepet anjing." kesal Neo.
"Pakai tali pinggang gue aja Yo, ada satu lagi dikamar." teriak Zeo yang duduk dikursi makan sambil membaca buku tebal latihan soal ujian.
"Ck, gitu lah, bukannya dari tadi." gerutu Neo lanhsung berlari kekamar Zeo.
"Lo mau susu nggak Ze?" Tanya Bastian dari arah dapur.
Zeo menggeleng, "Gue minum jus jeruk aja"
"Pagi-pagi juga, mana nih Dean sama Neo, gak sarapan?" kata Bastian membagi nasi goreng yang baru saja mereka masak.
"Bentar lagi kali," kata Zeo.
"Lo ujian apa pagi ini?"
"Matematika,kimia sama bahasa inggris." sahut Zeo lagi.
Bastian mengangguk, tak lama Dean dan Neo datang berkumpul.
"Mana nasi goreng gue?" tanya Neo yang dibalas Bastian dengan arahan.
"Gak kerasa uda ujian terakhir, ntar malam clubing yuk. Ngilangi stres" ajak Dean semangat.
"Gue oke banget, stress banget kepala gue." Kata Bastian terkekeh.
Semua mata langsung menatap Bastian, karena tak biasanya Bastian gampang diajak Minum-minum. Walaupun terkadang dia kalap seperti waktu itu. Tapi Bastian adalah orang yang paling malas diajak bersenang-senang selain Zeo.
"Ada masalah lo?" Tanya Zeo dingin.
Bastian terkekeh, "Sejak kapan kita gak ada masalah?"
Sejenak ruang makan menjadi senyap, mereka semua terdiam dengan pikiran masing-masing.
Mereka sudah tinggal bersama hampir 4 bulan lebih, dikota baru, disekolah baru dan tentu saja lingkungan baru, membuat mereka saling mengerti satu sama lain. Mereka yang pada dasarnya memiliki nasib yang sama yaitu seperti di depak dari keluarga secara tidak langsung.
Mereka semua makan dengan diam, rasanya masih ingat dengan jelas bagaimana keluarga mereka mengamuk dan murka saat nama mereka berempat terpampang diberita online dan majalah bisnis dengan berbagai skandal yang mereka buat.
"Oke, ntar malam clubing, buang stress dulu. Gue juga banyak pikiran." kata Neo memecah keheningan.
Mereka berempat mengangguk tanda sepakat.
-
Adhira mendorong piring makannya yang langsung mendapat tatapan penuh tanya Ayah, mama dan adiknya.
"Gak selera lagi? Ini kari ayam kesukaan kamu lho kak." kata Mira seperti putus asa. Sudah lebih seminggu Adhira tak berselera makan, membuat tubuh anak gadisnya itu kian kurus.
"Kakak pusing ma," kata Adhira menempelkan kepalanya kemeja makan.
"Mau cek kedokter nggak? Biar ayah antar." kata Deni mengelus pelan rambut anak gadisnya.
Adhira menggeleng, ia terlalu pusing dan malas untuk bersuara.
"Kamu kayaknya kena magh deh kak," kata Mira mendiagnosa.
"Magh?" kata Deni meminta penjelasan keistrinya.
"Kayak nya gitu mas, kakak kan sering ngeluh perih diulu hati sama mual." jelas Mira.
"Emang kamu gak makan teratur kak?" tanya Deni keputrinya.
Adhira mengangguk, "Loh kenapa? Kalau uda gini baru kerasa kan." gerutu Deni.
"Dia kan sibuk ngurusin Osis nya ya, apalagi ini uda mau kelulusan, pasti sibuk bikin acara ya kan kak?"
Lagi-lagi Adhira mengangguk.
"Kakak ditanyain coach Ando semalam lho." kata Devan, anak laki-laki berusia 9 tahun itu memberi tahu.
"Katanya kakak kok sekarang gak pernah ikut latihan lagi?" kata Devan mengingat ucapan guru karate mereka itu.
Adhira tercenung, Memang semenjak ia gagal menjaga dan membela dirinya hampir dua bulan yang lalu, Adhira menghentikan aktivitas latihan karatenya karena ia malu. Malu dengan ilmu yang ia miliki, malu dengan guru dan teman-teman nya.
Malu dengan dengan dirinya sendiri yang tak bisa mengamal kan ilmu nya dengan baik saat bersama Zeo waktu itu.
"Gak mood," katanya pelan.
"Tapi emang iya ya, kakak uda lama gak latihan, kakak juga jarang keluar deh mama rasa. Semalam mamanya Panji sampek nelpon mama katanya kamu sekarang jarang main kerumah nya." Kata Mira mengingat percakapannya semalam dengan ibu pacar anaknya.
"Eh iya, Panji semalam titip cokelat buat kamu waktu jumpa Ayah sepulang dari kantor." kata Deni yang membuat Adhira menatap ayahnya.
"Kok ayah bisa jumpa dia?"
"Ayah mampir keminimarket semalam, terus jumpa dia." Kata Deni lagi.
"Ma, Devan uda siap, Devan pergi kerumah coach Jihan ya." kata Devan hendak pergi.
"Ngapain kerumah coach Jihan? Masih pagi banget juga."
"Mau latihan ma, Devan kan mau ikut O2SN bentar lagi, biar jadi atlit badminton kayak Anthony Ginting." Kata Devan yang disambut kekehan kecil semua orang.
"Kak, kamu beneran gak mau kedokter? Kalau kedokter ayo ayah antar biar sekalian kekantor." Kata Deni yang bersiap-siap pergi.
Adhira menggeleng, "Nggak yah, kakak mau tidur aja, kepala kakak pusing." Katanya pelan.
"Ck, yaudah, tidur sana, liburan bukannya ngerefreshingin otak buat ujian malah sakit," Kata Deni mengusap rambut Adhira.
"Yaudah ayah pergi ya!" pamit Deni.
Sepeninggal Deni, Adhira langsung pergi kekamarnya setelah kembali menolak tawaran kedokter dari mamanya.
Sudah seminggu semenjak libur sekolah karena anak kelas tiga ujian, Adhira merasakan tubuhnya tidak enak, ia kehilangan selera makan, lemas dan mengantuk sepanjang hari.
Adhira bahkan sampai kehilangan beberapa kilo berat badannya yang membuatnya tampak kian pucat dan lemas.
Adhira bahkan bertanya-tanya ada apa dengan tubuhnya yang biasanya jarang sakit ini.
-
Thank you for reading, please vote and comment.
Atmosfera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ego (selesai)
ChickLitRasanya Adhira ingin melakukan percobaan bunuh diri untuk kesekian kali nya lagi begitu ia sadar ia masih terbangun dirumah sakit. Adhira enggan mengakuinya. Ia lebih baik mati daripada mengakui semuanya didepan keluarganya. Mengakui siapa sebenarny...