Ego-6

20K 1.1K 19
                                    

Adhira masih mendekam dibalik selimut saat ketiga temannya datang menghampirinya.

"Dhir,"

"Adhira" panggil Windi menggoyang-goyang tubuh ringkih Adhira.

"Hm,"

"Bangun elah, lo dari pagi sampek malam gini dikamar mulu."kata Febi takjub.

"Tumben betah lo."

"Udah sana napa sih, kepala gue sakit banget," keluh Adhira menutup kepalanya.

"Dhir, kerumah sakit yuk, nyokap bokap lo tadi pamit pergi kerumah nenek lo." kata Intan yang membuat Adhira membuka selimutnya. "Ayah mama gue pergi? Kok gue gak tau."

Intan mengedikkan bahunya, "Tadi kita ditelpon suruh nemeni lo malam ini, emang gak pamit?"

Adhira menggeleng, "Devan juga ikut?"

"Iya," sahut Windi.

"Oh, yaudah sana, jangan gangguin gue, kepala gue sakit." usir Adhira.

"Maka itu, kerumah sakit yok" ajak Febi. Adhira menggeleng, "Males."

"Tahan bener lo seminggu, ngurung dalam kamar." kata Windi.

"Yaudah, makan aja kalau gitu." usul Intan.

"Gue mau bakso yang pedes ntan," ujar Adhira mengiba.

"Hah bakso pedes? Sakit-sakit makan bakso, ntar makin mual lo." kata Intan.

"Iya Dhir, makan bubur atau nasi aja ya." timpal Windi.

"Gak mau, Gue mual Win, gak selera juga."

"Ck, lo itu jarang sakit sekali sakit ngimbang-ngimbangi ibu hamil." gerutu Windi.

Adhira membeku seketika, nafasnya terasa tersumbat diparu-parunya.

Apa mungkin.

"Yaudah, gue keluar dulu, tapi gak pala pedes ya Dhir, yok temenin Feb, lo gak pesen Ntan."

"Gue bakso juga lah 1"

"Win!"

"Astaga, Dhira!" bentak Winda begitu Adhira membuka selimutnya karena Adhira yang berteriak tiba-tiba.

"Win, "

"Hah, kenapa? Ada lagi yang mau lo pesen?"

"Win, beliin gue testpack diapotik depan."

"HAH! Teriak ketiga temannya kompak.

"Lo ngomong apa sih? Ngelantur?" Tanya Windi heran.

"Nggak, cepet beliin gue testpack, gue bilang."

"Lo-"

"Nanti gue ceritain, sekarang beliin gue dulu." kata Adhira dengan pikiran kosong dan mata ta fokus. Ia ketakutan.

Ketiga temannya menatapnya penuh tanya.

-

Begitu Windi dan Febi pulang, Adhira yang diam seperti orang linglung pun langsung meraih bungkus testpack yang dibawa Windi.

Adhira mengikuti setiap langkah yang ada, sampai akhirnya i menunggu dengan tangan gemetar dan pikiran kacau.

"Dhir, Dhira!"

"Adhira!"

"Dhir, gimana hasilnya?"

"Adhira lo jangan-

Ceklek

Adhira keluar dengan wajah super pucat dan mata memerah.

"Dhir?"

Windi langsung merebut benda pipih kecil itu dari genggaman Adhira.

"Dhir lo-" Windi tak mampu bekata-kata. Sedangkan Adhira langsung duduk lemas di ranjangnya.

Plak!

Tamparan Windi tak mampu membuat kesadaran Adhira kembali, Adhira menatapnya kosong.

"Lo- bajingan lo Dhir, sialan lo" Windi langsung menerjang Adhira, gadis itu menjambak rambut Adhira yang membuat Adhira meringis nmmenahan sakit.

"Sialan lo, lo anggap kita ini apa bajingan!"

"Win, uda win," Cegah Intan yang segera menengahi sedangkan Febi hanya melihat dengan tatapan tak percaya. Sekali lagi gadis itu melihat benda pipih digenggamannya.

Dua garis biru.

"Diam lo ntan, manusia kayak dia ini gak pantes dikasihani, sialan lo." Maki Windi.

"Apa!" marah Adhira, "G-gue gak tau." tangis Adhira sesenggukan. Bahkan tubuhnya bergemetar hebat.

"Oh jadi ini yang lo lakuin selama ini tanpa kita bertiga, Jadi jalang lo diluar sana"

"Windi!!" Teriak Intan marah.

"Apa lo masih mau belain manusia sialan kayak dia? Dia itu gak nganggep kita sahabatnya Ntan." teriak Windi.

"Tapi lo gak berhak menjudge  dia kayak tadi."

"Tapi emang iya kan."

"IYA! IYA GUE EMANG JALANG, APA MAU LO SEKARANG HA! SIALAN" tangis Adhira meraung-raung. Ia melempar semua benda yang ada disekitarnya. Memukul-mukul perutnya dengan membabi buta.

"Adhira!" cegah Intan, "Febi, bantuin gue!"

Febi masih menatap kosong, gadis itu seperti kehilangan nyawanya sejak tau Adhira, gadis paling angkuh,cerewet, kuat dan segalanya itu hamil.

Windi mengusap wajahnya yang ntah kenapa air matanya turun.

"Mana nomor Panji, bajingan itu." maki Windi mencari kontak pacar Adhira.

"Sialan, mana nomor Panji gue bilang!" Windi yang tersulut emosi membanting ponselnya. Ia meraih ponsel Adhira.

"Bajingan lo Pan."

Adhira yang mengetahui Windi akan menelpon Panji langsung merebut ponselnya.

"Balikin!" amuk Windi.

"Nggak!"

"Balikin gue bilang Adhira, cowok kayak dia harus tau apa kesalahannya."

"Nggak!"

"Lo nggak usah lindungi dia lagi, dia harus tanggung jawab sama lo!"

"Panji gak ada sangkut pautnya sama gue!"

"Balikin gue bilang atau-

"Uda berapa kali gue bilang, Panji gak ada sangkut pautnya sama gue. Bukan panji orangnya puas lo." teriak Adhira.

Windi, intan dan Febi tercenung. "Bu-bukan Panji orangnya?" beo Intan.

"Jadi siapa! Jawab gue!" bentak Windi.

Adhira terduduk kelantai, "G-gue gak tau" katanya ketakutan. "G-gue gak tau. Gue gak tau." racaunya.

"Lo masih gak mau bilang!"

"Gue memang gak tau, gue diperkosa! Gue gak tau Win, gue gak tau. Gue takut" racau Adhira tak jelas.

"Lo-"

"Lo-"

Windi tak bisa berkata-kata, ia langsung memeluk Adhira erat yang diikuti Intan dan Febi.

"Lo kenapa gak ngomong Sialan." kata Windi ikut menangis.

Malam itu, keempat gadis paling angkuh disekolah itu saling menumpahkan tangis ditengah keputus asaan mereka.



-

Thank you for reading, please vote and comment.

Atmosfera.

Ego (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang