Ego-23

17.3K 969 8
                                    

"Hp lo uda?" tanya Zeo memakai jaketnya.

Adhira mengangguk, tak berani menatap Zeo karena ulahnya tadi malam. Kenapa sih ia harus merengek seperti manusia menjijikkan kepada Zeo?

Adhira berdecak ia menatap perutnya yang sudah sangat besar. Rasanya ia tidak mempercayai kalau didalam perutnya ada dua bayi milik Zeo yang kian besar.

"Uda kan, ayuk, gue siang mau kerja." kata Zeo mengajak Adhira.

Hari ini Zeo akan mengantar Adhira kerumah mertuanya, dan tak perlu berharap untuk ikut diundang karena mertuanya hanya menginginkan Adhira yang pergi.

Jadi selama seminggu lebih Zeo tidak akan bertemu dengan Adhira dan calon anak-anaknya.

"Bisa nggak?" tanya Zeo ketika Adhira berjalan pelan sambil memegangi pinggangnya. Kehamilan kembar yang sudah memasuki usia 22 minggu  itu mulai membatasi gerak Adhira.

"Mau gue gendong?"

"Gak" bentak Adhira enggan ditolong, perempuan itu berjalan sendiri, sebenarnya kandungan Adhira belum diwaktunya menyusahkan. Namun karena Adhira memiliki tubuh yang kurus dan ringkih kehamilan itu sungguh menyiksanya.

Zeo berdecak, "Terserah, gue nunggu dimobil" kata Zeo meninggalkan Adhira sendiri.

"Mobil siapa!" teriak Adhira karena ia tau Zeo tak punya mobil, yang Adhira tau Zeo hanya mempunyai motor matic pemberian papa Zeo sebagai fasilitas nya untuk berangkat kerja.

Zeo hanya mengangkat kunci ditangannya tak berniat menjawab membuat Adhira kian kesal.

"Liat itu bapak kalian, sebajing bajingannya manusia aw." Adhira memkul pelan perutnya karena mendapat tendangan protes dari anak-anak Zeo itu.

-

"Dhira?" bisik Zeo pelan. Mereka sudah sampai didepan rumah Adhira. Namun Zeo ragu untuk turun karena hujan dan juga rasa enggannya untuk bertemu mertuanya.

"Adhira bangun," bisik Zeo lagi kepada Adhira yang tertidur lelap.

"Dhir," Panggil Zeo untuk kesekian kalinya yang baru direspon perempuan itu dengan mengerjapkan matanya.

"Uda nyampek?" tanyanya parau.

Zeo mengangguk, "Tapi hujan masuk nya males" kata Zeo.

Adhira menoleh, ia menatap gerbang rumahnya yang masih tertutup rapat karena hujan.

"Coba lo telpon Devan, suruh buka pagar." kata Zeo.

"Gak mau, kalau lo mau buka pagar ya buka sendiri lah. Itu juga gak dikunci jangan nyuruh-nyuruh orang." kata Adhira bersedekap dada.

Zeo berdecak pemuda itu mengambil payung dikursi belakang dan keluar untuk membuka gerbang.

Lalu kembali lagi kedalam mobil. "Pake," kata Zeo memberikan jaketnya yang ia kenakan.

Adhira menaikkan alisnya, "Dih, males bauk."

"Pakai aja kenapa sih atau gue yang pakaikan?"

Adhira memberengut, ia langsung menyambar jaket Zeo dan memeluknya masih tetap tak mau memakainya. Zeo memutar bola matanya, pemuda itu memasukkan mobil sehinggan tepat dihalaman Adhira.

Zeo menelekson mobilnya untuk memberi tau keluarga Adhira dengan kedatangannya.

"Lo turun duluan, pake payungnya." kata Zeo memberi perintah.

Adhira melengos tak mau menurut. "Ayolah Dhir, gue gak mau berdebat. Gue mau ambil tas lo." kata Zeo keluar mobil. Yang mau tak mau diikuti Adhira dengan menggunakan payung bekas Zeo.

Begitu Adhira keluar ia langsung disambut orang tua dan adiknya. "Ya ampun kakak sayang, mama kangen." peluk Adhira.

Zeo hanya meliriknya sekilas, ia sibuk mengambil tas dan keperluan Adhira dibawah guyuran hujan.

"Sini bang biar Devan bantu," kata Devan saat Zeo sudah berada didepam pintu.

Zeo mengangguk, "Siang om, tan,"

"Siang, kamu mau langsung pulangkan? Katanya kerja?" kata Deni langsung yang mendapat cubitan dari Mira.

"Biar Zeo masuk dulu mas, kasian dia basah gitu."

"Dia kan mau kerja buat apa mampir-mampir kalau uda keburu waktu." kata Deni lagi.

Zeo mengangguk, ia yang mengerti kalau ayah mertuanya enggan dengan kedatangannya pun memilih mengala. "Iya tan, Zeo juga mau kerja nanti. Yaudah Zeo pamit pulang dulu ya Tan, om"

"Tapi kamu, ini masih hujan Ze."

"Nggak papa tan," kata Zeo, ia lalu mendekati Adhira yang diam saja.

"Aku pulang dulu ya, kamunya have fun" kata Zeo mengusap rambut Adhira,

Adhira mengerjap, tak menyangka Zeo akan mengusap rambutnya begitu.

"Anak-anak papa juga jangan rewel ya. Kasian mamanya, makan yang banyak pokoknya. Papa pulang dulu." katanya mencium perut Adhira.

Dan perlakuan Zeo itu dilihat oleh kedua mertua dan adik iparnya. Mereka tak memberi komentar apapun. Masih tak menyangka yang ada didepan mereka adalah anak menantunya.

"Saya pamit dulu Om, Tan, " kata Zeo berbalik badan dan kembali kemobilnya menerpa guyuran hujan yang lebat.

-

Adhira menatap mobil Zeo sampai mobil yang dikendarai pemuda itu tak terlihat lagi.

"Kak, masuk yuk, dingin banget ini." Kata Mira menarik Adhira masuk.

Adhira mengangguk, ntah mengapa ada rasa tak rela Zeo pergi begitu saja meninggalkannya.

"Adhira?"

"I-iya yah?"

"Jangan pikirin Zeo, dia uda dewasa bisa mikirin dirinya sendiri."

Adhira diam saja, ia tak merespon apapun ucapan ayah.

"Yaudah yuk makan siang, mama uda masakin opor ayam kesukaan kamu tau."

"Iya ma," kata Adhira mengikuti mamanya. Berusaha membuang semua pikirannya tentang Zeo.

-

Zeo yang masih menyetir mobil itu terpaksa memarkirkan mobil milik perusahaan papanya itu kepinggir jalan saat nomor papa dan mamanya bergantian menghubunginya.

"Halo ma?"

"Halo Ze? Kamu dimana sih kok gak diangkat-angkat mama papa nelpon." marah mamanya.

"Zeo baru-

"Halo Zeo, cepat pulang ke Osaka sekarang, oma masuk rumah sakit papa sama mama tunggu kamu disana. Tiket pesawat suruh om Ian yang cari." Sambung papa Zeo merebut ponsel mamanya.

Zeo terpaku. "O-oma masuk rumah sakit? T-tapi kenapa pa?"

8"Papa bilang cepat kebandara! Jangan bertele-tele kamu, oma uda kritis!"

"Ze-zeo pergi," kata Zeo kembali menjalankan mobilnya gila-gilaan. Pemuda itu bahkan tak memperdulikan hujan deras yang menerpa.

Yang ada dipikiran pemuda itu hanya wajah pucat Oma nya, ia tak memikirkan hal lainnya selain hal itu.

-

Thank you for reading, please vote and comment.

Atmosfera.

Ego (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang