Adhira tak menyangka ia harus menghadapi keadaan pelik ini dalam hidupnya.
Bahkan rasanya Adhira ingin melakukan percobaan bunuh diri untuk kesekian kali nya lagi begitu ia sadar ia masih terbangun dirumah sakit.
"Lo uda sadar?"
Adhira menoleh secara perlahan begitu mendengar suara yang paling ia benci didunia inilah yang menyapanya pertama kali.
Adhira tak dapat bersuara, ada masker oksigen dihidung dan mulutnya, tenggorokannya pun terasa kering setelah hampir tiga hari ia tak sadarkan diri.
Tapi dari tatapan nya Zeo tau Adhira sedang memprotesnya.
"Keluarga gue uda tau tentang-" Zeo melirik perut datar Adhira, "Tentang kehamilan lo, kita-"
Zeo melirik arah lain tak mau menatap Adhira yang menatapnya tanpa berkedip. "Kita bakal nikah setelah lo baikan?"
Adhira memejamkan matanya, dan Zeo bisa melihat ada setetes air mata yang menetes dari sudut mata Adhira. Gadis itu menangis, lagi.
-
Adhira dan Zeo duduk berdampingan diruang makan yang diisi keluarga besar Adhira dan Mama, papa Zeo serta sahabat dari Adhira dan Zeo.Mereka baru saja menyelasaikan akad nikah secara sederhana beberapa menit yang lalu, dan sekarang mereka sedang makan bersama keluarga sebagai syukuran acara pernikahan mereka yang baru selesai dilaksanakan.
Zeo dan Adhira tak bersuara sama sekali, keduanya bahkan hanya tersenyum tipis saat diajak bicara atau digoda oleh saudara Adhira dan teman-temannya.
Pernikahan mereka terasa aangat hambar, terutama bagi Zeo, tak ada keluarganya yang datang bahkan kedua adiknya pun tak hadir. Zeo seperti menikah tanpa pendamping sama sekali, untung saja Neo, Dean dan Bastian terus menyemangatinya. Sedikit mengurangi ketersendiriannya.
"Zeo uda tamat sekolah kan?" kata salah satu tante dari Adhira.
Zeo tersenyum, ia mangangguk," Uda tan,"
"Jadi nanti mau tinggal dimana setelah nikah? Pulang keJakarta, ke Jepang atau tetep disini." kata Tante Adhira itu.
Zeo meringis, jujur saja ia tak memikirkan sampai sejauh itu.
"Disini aja tante, Dhira gak mau jauh-jauh dari mama." potong Adhira yang membuat Zeo, papa dan mama Zeo saling melirik. Pasalnya Papa Zeo sempat ingin mengirim Zeo kembali ke Jepang untuk mengurus perusahaan disana.
Namun mengingat psikis menantunya yang belum stabil, papa Zeo pun hanya mengangguk menyetujuinya.
"Iya lah, Adhira gak usah jauh-jauh takut gak ada tempat mengadu ya. Kalau ada apa-apa disana, iya kalau ada yang peduli," kata tante Adhira yang lain menyindir Zeo, pasalnya semua keluarga Adhira berpikir semua ini dalah salah Zeo. Apalagi mengetahui Adhira melakukan percobaan bunuh diri karena mereka pikir Zeo tak mau tanggung jawab. Padahal Zeo tak tau masalah apa-pun tentang kehamilan Adhira kalau tidak dari Panji.
Zeo tersenyum tipis, mencoba bersikap biasa saja.
"Ck, nanti setelah ini kamu mau apa Zeo? Kerja atau lanjut kuliah? Tapi ya kalau tante bilang kamu lebih baik kerja ya, sekarang kan uda jadi kepala keluarga uda mau jadi ayah lagi, gak mungkin cuma main-main aja sama temenmu kan? Mau makan apa anak sama istrimu?"
"Tapi ya kalau gak kuliah dulu ya mau kerja apa toh mbak?" timpal tante Adhira yang awal.
Zeo melirik ketiga temannya yang sudah tampak bosan dengan kedua tante Adhira itu, ia lalu melirik mama dan papa nya yang tampak tak nyaman Zeo direndahkan.
"Ekhem, Sinta, Dewi, kalian ini uda diam aja kenapa sih cerewet banget." kata Nenek Adhira.
"Ya, kan kami sebagai tante cuma khawatir aja sama keponakan perempuan kami satu-satunya ma. Apa lagi sama suaminya ini." nyinyir tante Adhira bernama Sinta itu.
"Kamu ini, gak sopan!" Kata Nenek Adhira lagi.
"Ekhem, bukannya kita mau makan malam ini ya? Kok ngobrol aja? Dean uda laper banget ini." potong Dean dengan berani, ia benar-benar muak dengan kedua tante Adhira. Mereka pikir pantas saja Adhira bermulut tajam, ternyata tantenya lebih parah.
"Oiya, ayo-ayo makan,"
Dan malam itu, adalah acara makan malam tersulit untuk Zeo karena ia terus mendapat intimindasi sana-sini.
Tapi harus Zeo akui, ucapan tante-tante Adhira itu membuat pikiranny terbuka, mau bagaimana pun sekarang ia harus menghasilkan uang untuk Adhira atau bahkan sekedar untuk anaknya.
Anaknya.
Pemikiran itu langsung membuat Zeo melirik Adhira yang tak makan apapun dari piringnya. Gadis itu diam saja dengan duduk tak nyaman. Sekelebat percakapannya sengan Devan dirumah sakit kala itu terngiang
"Kakak uda gak selera makan hampir dua minggu, dia muntah setiap makan."
Apa Adhira menahan mual?
"Loh, Kakak gak makan?" tanya Devan saat mengikuti arah pandang Zeo yang menatapi Adhira.
Semua mata kini menatap Adhira dan Zeo.
"Adhira masih kenyang," kata Adhira tersenyum kecil.
"Kenyang dari mana Dhir, hamil badan kamu makin kurus gitu. Harus tambah berat badan dong." kata tante Dewi.
Adhira mengangguk, ia tersenyum sambil menarik piringnya mendekat.
Zeo menatap Adhira kian lekat, seolah bertanya mengapa dari tatapannya.
Adhira yang benar-benar tak tahan dengan bau daging dari piring itu pun langsung berlari kekamar mandi, ia mual.Melihat itu pun Zeo bangkit dari duduknya, "Zeo temeni Adhira dulu ya Nek, Pa, Yah, semuanya!" pamit Zeo.
"Iya udah, kalian istirahat aja sana, Adhira juga perlu istirahat biar cepat sembuh.".
Zeo mengangguk, ia lalu mengikuti Adhira yang lari kelantai dua, menuju kamar gadis itu.
"L-lo gak papa?" Tanya Zeo ragu saat melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Adhira muntah-muntah.
Adhira terduduk disamping closet sambil menangis tetisak.
"Hei, Dhira." kata Zeo menjawil Adhira yang masih menangis.
"M-mual" kata Adhira mendongak menatap Zeo dengan tatapan memelas.
Zeo terpaku ditempatnya. Apa kah itu memang Adhira Alindra yang ia kenal?
--
Thank you for reading, please vote and comment.
Atmosfera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ego (selesai)
ChickLitRasanya Adhira ingin melakukan percobaan bunuh diri untuk kesekian kali nya lagi begitu ia sadar ia masih terbangun dirumah sakit. Adhira enggan mengakuinya. Ia lebih baik mati daripada mengakui semuanya didepan keluarganya. Mengakui siapa sebenarny...