Ego-9

20.5K 1.3K 26
                                    

Adhira sangat terpukul, Panji bilang ia akan menerima Adhira apapun yang terjadi tapi pemuda itu pergi begitu saja setelah mengetahui faktanya. Adhira masuk kekamarnya, bahkan panggilan mama ataupun Ayahnya tak ia dengar.

Adhira menangis lagi, ia masuk kekamar mandi, menguncinya, menghidup kan shower air, Adhira memukul-mukul dadanya untuk menghilangkan sesak yang menghimpit.

Adhira menenggelamkan kepalanya kebak mandi sampai kesusahan bernapas. Ia lakukan itu berulang-ulang kali sampai tubuhnya jatuh kelantai karena lemas.

Tubuhnya menggigil, kepalanya pusing tapi rasa ingin mengakhiri hidup terus merajainya. Adhira menangis cukup lama.

"Akhhh" tangisnya meraung, ia lalu menatapkan kepalanya kedindinng kamar mandi.

Menjambak rambutnya dan kembali menatapkan kepalanya ke dinding, hal itu terus ia lakukan sampai bau anyir menusuk hidungnya. Ada darah kental merembes dari kepalanya. Lalu jahitan dipergelangan tangannya yang basahpun terbuka, terasa sangat perih.

Adhira tersenyum diantara sakit luar biasa yang ia rasa. Ia telah menyelesaikan masalahnya, pikirnya sebelum kegelapan merenggut kesadarannya.

-

Panji mengerem motornya yang melaju gila-gilaan itu. Ia bahkan tak peduli ketika ia hampir menabrak pengunjung club yang semakin malam semakin ramai itu.

Mengepalkan tangannya menahan emosi, Panji langsung menuju ruangan dimana ia mendengar percakapan Zeo dan ketiga temannya tadi.

Panji langsung menerjang Zeo yang membuat pemuda itu terjengkang dari kursinya.

"Anjing lo, bangsat bajingan!" Maki Panji.

Zeo yang masih sedikit terpengaruh alkohol itu mengerang kesakitan, memegangi bibirnya yang pecah karena amukan tiba-tiba Panji.

"Woy, lepas!" Neo dan Dean menarik Panji dari atas tubuh Zeo yang kesakitan. Sedangkan Bastian membantu Zeo bangkit berdiri.

"Lepas!" teriak Panji kesetanan, Neo dan Dean sampai kewalahan memegangnya.

"Lepas gue bilang njing!" amuk Panji memberontak.

"Woy, sadar. Jangan gila lo. Lo mau bunuh Zeo."

"Iya! Gue mau bunuh dia kenapa lo pada"

"Woy Pan, masalah kita uda selesai bangsat. Kita gak berurusan sama geng lo lagi." kata Bastian mendorong Panji yang akan menerjang Panji.

Panji menatap Bastian sekilas, ia lalu mencengkram kerah baju Zeo. "Lo apain cewek gue njing!"

Zeo mengernyit, tapi setelahnya mereka semua seolah langsung menyadari kemana arah pembicaraan Panji. Satu hal yang pasti Panji sudah tau masalah ia dan Adhira. Apa gadis itu mengadu?

"Lo apain cewek gue, gue tanya!" amuknya.

"Lo uda berani sentuh cewek gue dan lo mau pergi gitu aja. Bangsat emang lo." maki Panji lagi.

Zeo terkekeh, "Jadi gue harus gimana? Bukannya cewek lo yang nyerahin dirinya ke gue? Dan sekarang dia gak butuh gue? "

"TETEP AJA LO GAK BISA LEPAS TANGAN BANGSAT!"

"GUE GAK LEPAS TANGAN ANJING, CEWEK LO YANG GAK BUTUH GUE!" amuk Zeo mendorong Panji dari hadapannya.

"Sialan lo, Banci!" ujar Panji.

"Apa lo bilang ha! Atas dasar apa lo ngatain gue-

"ADHIRA HAMIL ANAK LO DAN LO MAU KABUR GITU AJA, APA NAMANYA ITU KALAU GAK BANCI BABI."

Zeo membeku.

Adhira hamil?

-
Zeo tak berani menatap Ayahnya yang sedang berbicara dengan ayah Adhira.

Setelah pergulatannya dengan Panji diklub, Panji mendapat kabar bahwa Adhira melakukan percobaan bunuh diri dan sekarang berada diruang ICU, ada satu fakta yang lebih mengejutkan semua orang terutama Zeo adalah bahwa itu bukan merupakan percobaan bunuh diri yang pertama.

Setelah mengetahui fakta itu, Zeo hanya diam saja ketika tubuhnya hampir mati rasa ketika ayah Adhira menghajarnya habis-habisan, mungkin jika tidak ditahan oleh teman-teman nya dan beberapa dokter serta satpam rumah sakit, Zeo pasti sudah ikut menyusul Adhira yang belum sadarkan diri itu.

Ditambah lagi Seolah kesialan belum selesai menimpanya, ntah dari mana Papa dan Mama Zeo tau masalah nya. Yang pasti Zeo lagi-lagi menjadi samsak mengerikan dari ayahnya yang merupakan ahli karate.

Zeo bahkan tak berani meringis saat pergelangan tangannya yang patah terasa nyeri.

"Kamu dengar Alzeo!" bentak Kenji pada putranya itu.

Alzeo mengangguk tanpa berani menatap Papanya.

"Setelah Adhira sadar kalian akan menikah."

Zeo diam tak bersuara, rasanya pendapatnya pun tak akan dihiraukan jika ia bersuara.

Zeo rasanya ingin menertawai dirinya sendiri, lagian sejak kapan orang tuanya peduli dengannya. Bukankah orangtuanya hanya menganggapnya boneka? Yang semua keinginannya harus sesuai aturan mereka.

Zeo melirik Adhira yang masih tak sadarkan diri, pikirannya kosong, benar-benar kosong.

-

"Bang,"

Zeo yang melamun langsung menoleh begitu mendapati Devan memanggilnya.

Ia menaikkan alisnya tanda bertanya,

Devan menghela napas kasar, ketara sekali bocah lelaki itu tak suka dengan Zeo.

"Nih, makan disuruh mama!" ketus Devan menyodorkan semangkuk bubur ayam.

Zeo melirik Mira yang matanya masih sembab, wanita itu banyak menangis bahkan beberapa kali pingsan sejak tau keadaan Adhira yang sempat tak stabil.

Bahkan sejak tadi malam sampa pagi ini pun mama Adhira itu tak mau menegurnya, namun meski begitu wanita itu tetap menyadari kehadirannya. Buktinya masih mau memberinya sarapan bubur bukan nasi karena tau Zeo belum bisa mengunyah dengan baik. Mungkin mama Adhira masih dendam dengannya atas keadan Adhira.

Zeo berdehem ia menerima bubur itu, "Thanks"

Devan berdecak, lalu kembali kesofa dimana keluarga dan teman-teman Adhira menunggu. Sedangkan Zeo duduk dikursi sebelah ranjang Adhira.

Bukan berniat perhatian atau pun hal lain, Zeo memilih tempat ini karena Papanya yang melarang nya pulang kerumah dan harus menemani Adhira sampai gadis itu sadar. Dan dari semua tempat ruangan ini hanya kursi itulah yang kosong.

Zeo memakan buburnya dengan perlahan karena geraham, bibir dan pipinya yang masih kebas oleh pukulan itu sangat sakit untuk digerakkan.

Zeo memejamkan matanya ketika ia kesulitan menelan. "Kakak uda gak selera makan hampir dua minggu, dia muntah setiap makan." kata Devan tiba-tiba. Bocah itu kembali datang sambil meletakkan sebotol minuman didekat Zeo.

Zeo terhenyak, pemuda itu tau adik Adhira itu sedang menyindirnya. Mengatakan kalau bahkan tanpa ia sadari ia telah membuat kakaknya ada diposisi ini.

"Kakak dua hari yang lalu ngiris nadinya dua kali sampai hampir kehabisan darah. Habis itu kakak dijambak ayah karena gak mau ngasih tau tentang abang-"

Devan menatap Zeo dingin, ia ingin membuat Zeo merasa bersalah sedalam-dalamnya.

"Terus semalam malam, kakak berantem sama bang Panji, kakak sedih ngurung dikamar mandi, dia mecahin kepalanya ketembok, untung kak Febi, kak Intan sama kak Windi dateng, kalau nggak mungkin aku gak bisa liat kakak pagi ini."

"Aku gak tau apa-apa, aku masih kecil, masih kelas 4 sd. Tapi seumur hidupku, ini kali pertama aku liat kakak ku segila itu." Kata Devan lalu beranjak pergi, kali ini benar-benar membiarkan Zeo merenungi kesalahannya sendirian.

-



Thank you for reading, please vote and comment.

Atmosfera.

Ego (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang