Ego-22

21.4K 1.1K 11
                                    

Zeo melangkah pelan mendekati Adhira, perempuan itu sudah tidak menangis. Namun, sesekali masih terisak.

Zeo membawa nampan yang berisi sarapan dan susu hamil diatasnya.

"Dhir," panggil Zeo duduk disebelah Adhira.

Adhira membuang mukanya, matanya tampak memerah, Adhira sendiri tidak tau kenapa dirinya bereaksi demikian yang pasti ia merasa dipermainkan.

"Dhira, maaf ok. " kata Zeo bingung harus bereaksi apa. Sungguh, ia tak menyangka Adhira akan marah seperti ini, bukannya Adhira tak begitu peduli dengannya? Lalu kenapa perempuan ini bertindak demikian?

"Adhira, jangan mancing emosi gue bisa? Jangan lo pikir cuma lo yang bisa marah dan emosi disini ya. Gue capek dan gue pusing. " kata Zeo akhirnya setelah ia pusing sendiri dengan peperangan batin dan logikanya.

Adhira menatapnya, pipi perempuan itu basah oleh air mata. "Lo gampang banget bilang maaf ha! Lo bajingan Zeo" Adhira memukul bahu Zeo, prmuda itu harus mengelakkan nampannya agar tak tumpah lalu meletakkannya dimeja.

"Iya gue bajingan, uda puaskan?" tanya Zeo, "Sekarang lo makan, ini uda jam 10 gak baik buat anak-anak gue." ketus Zeo.

Adhira kian terisak, "Gak, gue gak mau. Lo bajingan"

Zeo tersenyum culas, "Iya, uda gue bilang gue bajingan terus apa lagi, lo kenapa sih? Lo marah gue punya pacar atau gimana? Jangan kekanak-kanakan lah Dhir, gue itu pusing. Sekarang makan." kata Zeo kian ketus.

"Lo cuma manfaatin gue doang kan?" kata Adhira menolak suapan Zeo.

"Astaga Adhira! Makan gue bilang, gue cuma mau libur dan tidur sehari aja gak bisa ya."

"Lo manfaatin gue buat ngandung anak-anak lo kan? Habis itu lo kabur sama pacar lo. Pantesan lo sayang banget sama anak-anak sialan ini. Tau gitu gue gugurin mereka dari dulu! hiks." Jerit Adhira menampik suapan Adhira.

"Ma-kan Dhir," kata Zeo enggan membahas.

"Lo-"

"IYA! Iya gue manfaatin elo, terus nanti gue bakal bawa anak-anak gue dari mamanya yang kejam." Kata Zeo kesal. Ia hanya asal berucap saja, mana mungkin ia melakukan hal semacam itu.

Adhira menatapnya penuh kebencian. "Kenapa harus gue! Kenapa lo gak hamilin aja pacar lo yang jelek itu kenapa harus gue. Lo jahat."

"Pacar gue masih sekolah dia juga bermartabat gak kayak lo" kata Zeo memakan buburnya.

"Lo- akh huks." kata Adhira begitu Zeo mencium bibirnya dan memindahkan bubur dimulutnya kemulut Adhira.

"Kayak nya lo perlu disuapi pake cara lain ya. Berani lo muntahin gue bakal lakuin hal yang lebih Dhir."

Adhira terisak, ia sangat jijik dengan bubur yang ada dimulutnya. Ia tak mampu menelannya. Dia menutup mulutnya dan terus menggeleng ketika Zeo kembali melakukan aksinya.

-

Adhira enggan menatap Zeo ketika pemuda itu mulai melakukan rutinitas setiap harinya untuk mengusap perutnya.

"Dhir, jangan tidur duluan, minum susunya dulu." kata Pemuda itu menggoyangkn tubuh Adhira.

Adhira mengerang, ia membuka matanya dan meminum segelas susu itu dengan sekali minum tak berani melawan jika urusan seperti ini, kejadian beberapa hari yang lalu menjadi momok yang menjijikkan untuk Adhira, perempuan itu bahkan sudah sangat membenci bubur dari apapun karena terus mengingatkannya.

Memang smenjak Zeo sering mengancamnya. Adhira sekarang pun mulai terbiasa dngan semua hal itu. Seperti sarapan pagi dan makan malam yang disulangi pemuda itu atau bahkan seperti sekarang ini meminum susu dan mengusap perutnya yang seolah sudah ketergantungan dengan tangan Zeo.

"Lepas" kata Adhira ketika Zeo berhenti menggerakkan tangannya.

Zeo menaikkan alisnya, "Yakin nih, ntar lo gak bisa tidur" kata Zeo cengengesan. "Iya kan sayang papa. Mama kalian gengsi kayaknya." kata Zeo terkekeh.

Adhira berdecak, tentu saja ia tak mau mengakui nya. Senyaman-nyamannya tangan Zeo sudah pasti Adhira tetap jual mahal. Baginya lebih baik tidak bisa tidur karena ulah anak-anak Zeo yang terus mendang itu dibanding harus mengemis usapan Zeo untuk perutnya.

"Gak usah G-R deh lo, udah sana pergi, gue gak mau sekamar sama bajingan kayak lo." bentak Adhira.

Zeo terkekeh, "Gue mau tidur disini Dhir, disofa gak nyaman. Percaya deh sama gue. Lagian gue juga masih kangen anak-anak gue besok uda gak jumpa, kalian kan mau pergi." kata Zeo menaiki ranjang dan tidur dibelakang Adhira. Seperti posisi biasanya, Zeo mengusap perut Adhira dari belakang punggung Adhira.

Adhira diam saja, semenjak kejadian beberapa hari yang lalu. Adhira semakin enggan berkomunikasi dengan Zeo. Perempuan itu lebih banyak diam dan melawan.

Tapi untuk masalah tidur dengan posisi Zeo megusap perutnya ini Adhira tak bisa melawan karena Zeo mengancam akan bertindak kasar jika Adhira berusaha menjauhkan nya dari anak-anaknya.

"Jangan nempel!" kata Adhira membalikan badannya, ia mendorong dada Zeo yang tadi menempel dipunggungnya.

Zeo bedecak, "Jadi kalau gak nempel kayak mana gue ngelus perut lo."

"Gak usah," kata Adhira ketus.

Zeo memutar bola matanya, ia lalu berbalik badan dan memunggungi Adhira. Enggan berdebat, lebih baik ia tidur agar besok bisa bertemu kedua mertuanya dengan tenang ketika mengantar Adhira.

Adhira ikut berdecak, perempun itu juga berbalik badan. Mereka saling memunggungi karena berada pada ego masing-masing.

Zeo sudah hampir terlelap ketika Adhira menarik-narik kaosnya, "Hm" kata Zeo setengah sadar.

Adhira yang sudah sangat mengantuk pun berdecak, "Perut aku gak enak, elusin." katanya merengek. Zeo menggerutu, pemuda itu lalu berbalik badan dan mengusap-usap perut Adhira dengan pelan.

Ketika Zeo hampir terlelap dan tak sanggup mengelus. Adhira kembali merengek minta diusap.

Hal itu berlanjut sampai keduanya terlelap malam itu.


-
Thank you for reading, please vote and comment.

Atmosfera.

Ego (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang