09. Tiga Tamu

48 9 0
                                        

"Mas Sangga jangan pulang dulu, ya."

Aku mencegah pria yang nyaman duduk bersila di ruang TV, sambil menikmati keripik singkong buatanku dan Kak Dekka. Dua toples besar terisi penuh berada di dekatnya, berwarna kuning keemasan dengan pinggiran tipis berwarna cokelat-bukan gosong, teksturnya renyah, rasanya asin bercampur manis. Sempurna.

Kak Dekka menggoreng seluruh singkong yang telah dipasah tanpa sisa. Sebanyak satu ember penuh tadi kulihat-lihat sedang direndam air agar tetap bersih dan renyah ketika digoreng.

Aku cukup takjub dengan kemampuan Kak Dekka yang terus memainkan spatula, mengaduk-aduk singkong tercebur dalam minyak panas penggorengan di bawah api tungku besar. Suasana dapur sekilas berubah jadi rumah industri produksi keripik singkong.

Aku menganggapnya begitu saat keripik yang sudah mulai meniris dari minyak segera kupindahkan ke wadah toples besar berisi bumbu asin manis-aku yang meraciknya-, hanya campuran sejumput garam dan empat sendok gula halus, keripik sudah cukup terbumbui secara merata.

Tidak hanya asin manis, aku juga membumbui dengan varian lainnya. Ada bubuk balado yang tak kalah nikmat rasanya. Ketika semua keripik selesai dibuat, Kak Dekka belum berhenti mengembangkan sudut bibirnya yang gembira. Dia benar-benar tampak seperti ingin menyaingi usaha dagangnya Mas Braga.

Kalau Mas Sangga ngapain?

Mas Sangga lebih memilih jadi komentator ala-ala juri acara kompetisi memasak MasterChef. Mencicipi renyahnya keripik satu-persatu, mengunyahnya penuh nafsu, diselingi kalimat-kalimat pujinya yang tak absen setiap kali keripik dilahap tersentuh lidah. Sampai-sampai tak sadar kalau dia telah menghabiskan setengah toples.

Pria berhidung mancung itu tertawa ringan sewaktu aku menahannya untuk tidak pergi sebelum Mas Janit datang, "Nggak kok, Lin. Tenang aja." kriuk-kriuk terdengar jelas setelah ia meresponsku.

Televisi Kak Dekka sedang bagus visualnya, tumben. Berhubung antenanya jernih sinyal, aku anteng duduk bersebelahan dengan Mas Sangga menikmati sajian tontonan acara sitkom. Alur cerita yang dipenuhi intrik komedi dengan mudah mengocok perut kami. Para tokoh dengan gaya bicara khas penuh jenaka, dandanan yang norak serta dibubuhi musik-musik spontan pada penutup cerita sukses menghibur penonton.

Di sini hanya ada dua sampai tiga channel lokal yang terlacak bisa ditonton. Meskipun begitu, aku sudah lumayan cukup terhibur. Biasanya kalau di rumah kedua atau di kota, aku selalu berlangganan TV kabel demi menikmati sajian-sajian film barat di kanal HBO atau menonton Netflix. Selebihnya, mungkin Cartoon Network dan Nat Geo jadi opsi tontonan lainnya.

Sejak dulu aku sangat tertarik menonton televisi berbahasa Inggris karena Ibu. Aku terpana sewaktu beliau asyik berbicara bahasa asing di telepon yang kuyakini adalah kliennya berasal dari luar negeri. Sepertinya itu alasan terbesarku mengambil jurusan Sastra Inggris ketika masuk kuliah. Aku bercita-cita ingin menjadi translator bahasa asing yang belum berhasil kugapai.

Tapi sekarang aku dihadapkan kembali dengan situasi di mana hanya ada tayangan iklan minuman sarinutri rasa blewah serta kakakku yang baru saja menyusul dari arah dapur.

"Ekkkkkhmmmmm....." terdengar deheman anak sulungnya Bapak.

Dibawakannya satu ceret berwarna perak berisi air putih beserta pendamping makanan lainnya. Ada jadah bakar, tahu goreng beserta cabainya. Keduanya ditaruh di atas nampan plastik berwarna neon, Kak Dekka menyodorkan di hadapan Mas Sangga lalu ikut menimrung.

"Lo gak kerja emangnya mau lama-lama?" tanyanya sekedar mengingatkan. Jadi kelupaan kalau niat kedatangan Mas Sangga pada awalnya hanya sekedar untuk mampir, bukan bertamu.

Unexpected DekkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang