Aku berdiri di ambang pintu yang dirakit dari bambu. Melipatkan kedua tangan dan mengenakan handuk kecil yang menggantung di leher. Aku sadar topi caping milik Kak Dekka terasa kebesaran di kepala, sehingga saat digunakan rentan melorot ke depan bila tali pengaitnya tak diikat kencang.
Di depan area perkarangan Kak Dekka, aku mencebikkan bibir saat melihat putra kesayangan Bapak sibuk berjongkok memegang sekop kecil. Ia sudah berganti pakaian mengenakan kaos lengan panjang. Terus-menerus ia berupaya menggali singkong yang sudah berusia 8 bulan. Sudah waktunya untuk dipanen.
"Ngeliatin doang lo, cepetan bantuin gue." sergahnya.
Gara-gara keributan yang terjadi antara Kak Dekka dan Mas Braga, berimbas munculnya ambisi Mandor Ternak yang ingin berbalas dendam. Membuat keripik singkong hasil tangannya sendiri.
Sejak tiba di rumah sekitar pukul 12 siang, Kak Dekka melewatkan barang belanjaan yang mustinya ia sortir lebih dulu. Pikirannya sudah terlalu fokus ke pekarangan kebun yang ia kembangkan juga seorang diri. Letaknya berada di paling belakang rumah, berjarak sekitar 10 meter dari area kandang ternak Kak Dekka.
Kebun yang dikelola kakakku luasnya mencapai setengah hektar, berbagai tanaman sayur dan buah dengan mudah ditemukan di sini. Selain singkong, ada juga ubi talas, wortel, kentang, tomat, cabai, seledri, serta buah mangga. Aku tak begitu paham berapa luas rumah ini sebenarnya. Jika dibandingkan dengan luas rumah kami di kota, sepertinya masih kalah besar dengan yang ada di sini.
Aku bertugas mengumpulkan singkong-singkong yang sudah digali Kak Dekka untuk dimasukkan ke dalam karung berukuran sedang. Kemudian memilah daun-daunnya yang nanti bisa digunakan sebagai bahan masak sayur lodeh, atau dijual ke tetangga. Tak ketinggalan, Kak Dekka juga menebang beberapa batang untuk dijual ke pasar besok pagi.
Tanganku yang sempat diperban kain kasa kini sudah mulai membaik. Luka bekas gigitan di sebagian ujung jariku mulai terlihat bekasnya berwarna cokelat. Meski sudah terlepas, aku tetap harus berhati-hati mengambilnya. Singkong-singkong hasil panenan Kak Dekka berukuran cukup lumayan. Rata-rata sepanjang 70 hingga 100 sentimenter serta berdiameter 10 sentimeter.
Seperti hasil ternak telur ayam kemarin, perasaan senang Kak Dekka kembali mencuat ke permukaan. Sekarang aku mulai paham, mungkin begini kali ya yang dirasakan orang-orang ketika pekerjaan yang disukainya bisa membuahkan hasil yang memuaskan?
Kalau iya, bisa jadi Kak Dekka betul-betul sangat mencintai profesinya. Aku selalu melihatnya terus tersenyum saat setiap kali ia menarik singkong yang berbuah di dalam tanah. Selayak menemukan kebahagiaan, "Waaaahhhh, jadi beneran, Lin!" kalimat sanjungnya bertubi-tubi ia lontarkan penuh kemenangan.
Tapi itu tak berlangsung lama. Setelah habis dari kebun, Kak Dekka kembali memasang muka datarnya, "Nanti lo pasah, terus lo goreng. Pamerin ke Mas Braga." titahnya tak berhenti mengulang kalimat itu, terlebih saat menyebut nama Braga dengan penuh penekanan.
"Lo kayak bocah deh, Kak. Kenapa sih baper aja sampai dibawa kayak begini?"
"Udah diam saja. Tuh lo kupas dulu kulitnya."
"Gimana caranya ini wahai kakakku?"
Takut keliru, Kak Dekka akhirnya betul-betul memeragakan bagaimana cara mengupas singkongnya menggunakan pisau. Dengan tekun ia mengajariku langkah-langkahnya. Tumben sekali dia tidak malas. Apa karena demi melancarkan aksi dendamnya pada Mas Braga?
Kelihatannya sih mudah, dengan cepat dia bisa mengupas tiga sampai lima buah singkong dalam kurun waktu semenit. Namun saat aku mencoba sekali, lapisan kulit-kulit umbian itu ternyata cukup tebal dan membuatku kesulitan. Satu menit lebih tidak cukup untukku menyelesaikan satu singkong agar bisa terkelupas semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Dekka
Ficción GeneralBagi Delin, Dekka adalah sosok kakak yang tingkahnya sulit diprediksi karena mereka tak satu frekuensi. Usai menjadi sarjana, Dekka justru memutuskan untuk tinggal di kampung halaman sendirian. Apesnya, Delin yang masih pengangguran dipaksa menyusul...