12. Akur, Dulu

52 10 0
                                        

Kepalaku masih sibuk berpikir keras, sejak kemarin aku belum bisa merasa tenang setelah saling meminta maaf. Bagaimana caranya memberitahu Kak Dekka kalau Wilson dan Dita akan datang ke sini, ya?

Aku jadi ingat lagi percakapan alot kami soal rencanaku ingin menjual kambing pada Dita, yang berakhir ditolak mentah-mentah sama Kak Dekka. Alasannya memang logis, sih. Tapi tetap saja aku selalu terbayang-bayang cara bicara kakakku yang menolak dengan nada tak bersahabat.

Kak Dekka sebetulnya bukan tipikal manusia yang sedang mengisolasi diri dari lingkungan. Kalau kuperhatikan, dia hidup bermasyarakat selayaknya warga biasa. Setiap malam Jumat dia rutin mengikuti pengajian bersama kumpulan pemuda. Lalu setiap senin di minggu keempat, dia mewakili warga dusun pergi ke kelurahan untuk berdiskusi dengan Pak Lurah terkait perkembangan desa. Terakhir, setiap minggu ketiga dia rajin mengikuti kerja bakti, menjalankan program mingguan yang diadakan di lingkungan RT.

Hampir ketinggalan, baru-baru ini Kak Dekka ikut arisan kambing yang diikuti 12 orang. Ia sudah lama aktif bergabung dalam Komunitas Peternak Kambing dan Sapi (KPKS) lingkup sekecamatan. Dia hanya anggota biasa, tapi selalu hadir di setiap agenda. Kakakku memprediksi dalam waktu kurang dari setahun, ia bisa mendapat seekor kambing baru.

Melihat dia yang cukup aktif berinteraksi, harusnya aku juga bisa dong mengajaknya bicara? Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas untuk segera enyah dari rumah ini. Uang sejuta kemarin masih belum cukup untuk ongkos kembali ke Ibukota. Minta ke bapak rasanya hanya menelan janji belaka, bilang ke ibu malah diserahkan lagi untuk minta pada Kak Dekka. Kenapa sih tidak ada keluargaku yang mau membantu sama sekali?

Aku sudah sebulan—terjebak—berada di sini, bukankah harusnya aku diperbolehkan kembali ke rumah kedua?

Kedatangan Wilson yang berencana ingin menjemput tentunya akan sangat membantuku. Sungguh, sejauh ini hanya dia yang bisa mengerti aku. Dia tahu apa yang kubutuhkan dan tanpa kuminta, ia selalu menawarkan pertolongan. Kalau begini, aku tidak perlu repot-repot menyelinap pergi ke kota dulu untuk membeli tiket kereta di stasiun—karena uangku cash semua. Dan usai dijemput, aku cukup duduk manis di mobilnya Wilson dan menikmati waktu perjalanan pulang bersama.

Sadar melamun terlalu lama, aku beranjak dari kursi teras sebelah timur. Kuedarkan pandangan sekitar mencari sosok Kak Dekka. Terakhir kali aku mendengar suaranya masih di teras barat. "Ah, benar di sana." gumamku. Semoga saja dia mau diajak bicara baik-baik dengan adiknya.

"Kak Dekka." Sekali kupanggil, tidak menyahut.

"Kak."

"Kakaaaak!"

"Ih apaan sih, Lin?" panggilan ketiga ia baru menyahut dengan ekspresi menahan kesal, karena aku memanggil disela-sela ia sibuk dengan laptopnya.

"Lo lagi ngapain, sih?"

Silauan matahari pagi tersorot ke arah wajah Kak Dekka. Tak peduli wajah bersihnya memerah hampir terbakar, matanya tetap fokus menatap layar. Ketika aku datang mendekat dengan bergeser tempat duduk, buru-buru ia malah menutup layar laptopnya yang belum sempat kulihat.

"Mau ngapain, lo?!"

"Ngintip aja beloman, udah main tutup aja. Gue mau ngomong, nih."

Terangkat kedua alisnya menanggapi, "Kenapa?"

Seraya mengumpulkan keberanian, aku berdiam sejenak untuk meyakinkan suasana hatinya. "Auranya cerah," batinku. Sebab hasil panen wortel kemarin langsung diborong Mas Janitra untuk selanjutnya dijual lagi ke pasar. Di dapur hanya tersisa satu kilo wortel saja. Pantas saja kalau saat ini dia tak berhenti memancarkan mimik senangnya, ditemani segelas jus wortel tomeri yang tersisa banyak.

Unexpected DekkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang