Delapan

2.4K 78 8
                                    


POV Nida.

***
Apakah ini mimpi? Tanyaku pada hati. Indra pendengaran mendengar dengan jelas, lelaki yang kukagumi selama ini akan rela menikahi malam ini.

Meski aku tahu tanpa dasar cinta dan hanya karena iba semata sungguh aku bahagia.

Betapa tidak, lelaki yang menjadi majikanku itu adalah sesosok manusia dengan sesempurna penciptaan.

Kulitnya putih mulus dengan rahangnya yang tegas. Kumis tipis menghias bibirnya yang sensual. Mata yang tajam mengapit hidung bangirnya. Rambut hitam yang selalu rapi di sisir begitu lebat dan tertata sedemikian rapi memperelok penampilan. Tubuhnya tinggi dengan perawakan sedang. Tidak gemuk atau kurus.

Pantas saja jika nyonya menjadi pencemburu dibuatnya. Tak pernah membiarkan lelakinya hanya sekedar ditatap seorang wanita.

Sering kumengurut dada melihat perilakunya yang tak pantas pada Tuan. Andaikan aku istrinya, aku akan mencintai dan menghormati dengan setulus hati bukan malah menganggapnya babu.

Hari ini, dirinya bersedia mempersunting diri. Walau mungkin karena terpaksa. Betapa bahagia sekaligus luka. Dada ini sesak seketika.

Hati ini dilema ketika harus mengambil keputusan. Namun, akirnya hanya bisa mengangguk pelan. Karena tak ada lagi cara menyelamatkan diri dari bandot tua sang pemangsa.

Jika kumenolak kemungkinan besar akan hidup menjadi sampah sebagai gundik Pranoto. Dinikahi hanya sesaat dan menjadi janda selamanya tanpa ada yang akan mau melirik karena takut dengan bandot tua. Hingga mati sepi dan senggara.

Biarlah mungkin hanya pernikahan sehari, tak apa aku sudah sangat bangga pernah menjadi seorang istri baginya.

***

Malam ini, sebuah akad pernikahan lancar terlaksana. Tak ada kebaya putih dengan riasan wajah yang mewarnai hari bahagia. Hanya baju yang kuanggap terbaik kugunakan. Baju gamis bekas lebaran tahun lalu.

Mempelaiku hanya memakai kemeja yang dipakainya sedari tadi siang. Mungkin sudah kusam dan bau keringat badan.

Tak ada dekorasi nan indah seperti dalam impianku. Sebuah pelaminan dengan hiasan bunga segar hanya sekelebat hadir dalam bayangan. Angan.

Hanya ada beberapa saudara yang terpaksa datang untuk menjadi saksi. Tak ada jabatan tangan tetangga tanda suka cita. Kami melalui rangkaian upacara pernikahan dengan sakral tapi penuh keheningan.

Malam pertama yang didamba semua pasangan nikah juga bukan malam yang indah. Melainkan, malam mencekam menanti ajal menjemput ayah yang sekarat.

Subuh hampir menjemput ketika satu tarikan napas terakhir ayah kulihat. Raga tanpa nyawa itu masih juga menatap tajam diri seolah ingin mengucap perpisahan.

"Ayah, jika boleh meminta ajak aku serta. Aku tak punya lagi sesiapa. Bagaimana hidupku tanpamu," lirihku mengusap mata beliau yang masih belum mengatup sempurna.

Tangan ini menguncang keras raga yang kian memucat dan membiru itu. Semua anggota tubuhnya bergerak terguncang tanpa memberi respon apapun.

"Jangan seperti itu, Nida! Kamu tak lagi sendiri. Ada aku suamimu. Aku akan menjagamu menggantikan ayah. Aletha juga akan selalu mencintaimu. Kamu tak sendiri lagi sekarang," suara lembut itu menentramkan.

Seketika aku larut dalam kehangatan yang menjalar merasuki raga yang kerontang. Ucapannya seolah oase yang menawarkan dahaga diri.

Aku bak mabuk candu dan terbang melayang tinggi. Kata-katanya membiusku hingga sekejap lupa sakit yang mendera, padahal aku begitu terluka dan bersimbah darah.

Pembantuku Maduku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang