Enam

2.5K 74 4
                                    

Sudah lama tak lagi kurindukan pulang ke rumah untuk sekedar melepas lelah. Untuk apa kembali hanya untuk memeluk sepi.

Ruang kosong, lorong tanpa jejak kehidupan kurasakan. Rumah sepi melebihi kuburan. Mengapa harus kurindukan. Alasanku segera kembali pulang hanya Aletha.

Gadis manis itu selalu menjadi magnet pemanggil untuk hadir. Menjadi alasan untuk pulang.

Berbagai godaan sekedar mencicipi koktail dan menghabiskan bingar bingar dunia malam bisa kutepiskan dengan alasan kerinduan padanya.

Namun, semenjak kehadiran Anida, dimana suasana rumah kembali menjadi normal, aku mulai rindu dengan suasana makan malam dan kehangatan sore hari dengan hanya secangkir kopi serta singkong goreng sebagai teman.

Masih keadaan yang sama tanpa kehadiran Rima yang masih rajin berparty dan pulang larut menghadiri arisan sana-sini.

Kini, setiap hari suasana rumah begitu hangat dengan tawa canda serta ceria Aletha yang membahana di setiap penjuru rumah.

Alunan suara yang terdengar tak lagi suara musik menghentak, tapi kidung pujian sang pencipta, lewat rekaman murotal Al Qur'an. Atau shalawat nabi yang terdengar dari gumam atau sekedar rekaman MP3 player.

Rumah kian tertata rapi. Berbagai bunga kini menghias indah di halaman. Bunga yang tak terawat, kini mekar bersemi karena sentuhan cinta Nida dan Aletha yang telaten merawatnya.

Meja makan yang dulu tak berperan, sekarang penuh aneka rupa hidangan menggugah selera. Hanya makanan yang sederhana tapi lezat disantap di lidah.

Terkadang Aletha dan Nida mencari tutorial memasak di internet. Mempraktikkannya dan menjadi petualangan penuh arti bagi di kecil.

Meski kerepotan aku juga harus ikut berbelanja dan membantu mereka saat akhir pekan, biarlah tak mengapa. Aku merasa senang melihat bagaimana binar bahagia di wajah cantik putriku.

Rumah ini sekarang bagai mendapatkan kembali auranya. Cahayanya. Kehidupannya. Sungguh berbeda dari suasana rumah sebelum Nida tiba.

***

"Papa ... sini cicipi masakan kami!"

Suara si mungil memanggil dari ruang makan. Panggilannya bersahutan dengan suara cacing di perut yang keroncongan. Sengaja aku tak menyantap makanan ringan yang tersaji bersanding kopi agar lapar menanti makanan siap tersaji.

Langkahku bergegas menghampiri Aletha dan Nida yang sudah duduk di meja.

"Wah makanan apa kali ini?"

Kukernyitkan dahi menatap makanan asing yang terhidang di meja kali ini. Berbentuk seperti mpek-mpek tapi bersalut warna merah berbumbu.

"Itu makanan khas Korea, Pah. Namanya kue beras pedas. Enak loh. Papa cicipi sebelum kami. Ok!"

Si mungil tersenyum. Binar mata menanti jawaban atas penilaianku. Aku mengangguk. Satu suapan berhasil kukunyah di mulut ini.

Mataku membulat. Indra pengecap menolak makanan yang hinggap. Ingin kumuntahkan tak kuasa melihat si mungil dan Nida menanti penilaian.

"Enak, Pah?" tanya Aletha dengan penuh harap jawaban.

"E-enak, tapi ...."

"Tapi .... Kurang. Ayo ngaku papa tambah lagi ya! Aaaa," komando Aletha tanpa panjang lebar memasukan makanan ke mulut ini.

Asin. Hampir menyamai rasa pahit di indra pengecap. Ingin kuekspresikan perasaan tak nyaman di lidah ini dengan kata. Namun, tak sanggup kuucap.

Kulihat raut mendung yang menggelayut di wajah Nida. Matanya sayu memendam pilu. Nanar menyimpan air mata meski samar.

Pembantuku Maduku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang