Ballroom hotel bintang lima menjadi saksi penyatuan dua keluarga. Seluruh tamu undangan datang dengan penampilan mewah dan elegan. Hanya pak RT, RW dan tokoh ternama di desa yang datang sebagai tamu undangan dari pihak keluargaku. Hanya mereka tak ada yang lain lagi. Bahkan tetangga kanan kiri rumah pun tak masuk dalam list undangan.
Aku malu jika tetangga datang dengan sikap kampungannya. Terbayang sikap ndeso yang akan membuat merah muka. Bapak dan kekuarga intiku telah kuwanti-wanti agar menjaga sikap dan lebih baik diam atau akan mencoreng arang. Maklumlah tetamu yang datang bukan orang sembarangan. Mereka kalangan terkemuka dalam dunia bisnis Indonesia.
Resepsi yang terlaksana tak menyusahkan keluargaku sama sekali. Mereka hanya tinggal duduk manis tanpa repot apapun. Termasuk soal keuangan. Semua ditanggung oleh keluarga mempelai wanita.
Tatapan sinis yang beberapa kali terlihat dari beberapa tamu undangan, kutepis dengan pemikiran jika mereka hanya iri dengan peruntunganku yang menjadi menantu dan suami keluarga Barata.
Satu nama yang tak lupa kuundang pada pesta. Lilis. Gadis manis yang sukses membuatku menangis dan mantap menerima Rima setelah patah hati itu harus menjadi saksi jika aku bahagia dan tak terpuruk juga terluka setelah pernikahannya.
Rima harus tahu jika kehilangan dia tak berarti apa-apa. Aku lebih beruntung mendapatkan putri seorang konglomerat dibandingkan dirinya yang hanya mendapatkan seorang pedagang kelontong di pasar sana.
Dia mencampakkanku demi seorang yang tak lebih baik dari diri ini. Sedangkan aku menemukan bongkahan berlian setelah kepergiannya. Siapapun akan tahu yang beruntung dia atau aku.
Tanganku menggandeng mesra pinggang ramping Rima. Kecantikan seorang wanita yang paripurna. Dia memang lebih jelita dari Lilis si gadis desa, namun hati ini tak bisa diajak kompromi. Masih tetap si gadis desa yang bertahta.
Pernikahan Lilis dan luka yang ditorehkannya menjadi alasan kuterima tawaran Tuan Barata untuk menjadi suami putri semata wayangnya. Bukankah obat luka hati adalah hati juga?
Aku memang menyukai dan terpesona elok rupa gadis cantik yang kini menjadi istriku tapi masih belum bisa kukatakan jika itu cinta.
Tatapan sendu Lilis membuat senyum bahagia di bibir ini. Aku bahagia melihat dia luka saat kudekap mesra perempuan lain di depan matanya.
Andai dia tahu siksa yang telah diberikan ketika malam pengantinnya. Dia yang bercumbu di malam penuh syahdu aku yang terkapar dan terbakar di sepi malam. Mengenang kasih yang telah hilang.
Geram. Marah dan benci kutelan sendiri saat membayangkan dia di sentuh lain orang. Apalah daya hanya bisa menatap langit dan mengadu pada sang rembulan yang seolah tengah menatap kasihan.
"Selamat, A, semoga SAMAWA," ucapnya pelan.
"Terima kasih sudah datang, Lis. Maaf tak datang pada saat pernikahan kalian. Maklum saya baru tiba dari Belanda jadi tak sempat memberi doa restu," jawabku sembari tersenyum.
Lebih erat kudekap Rima. Mempelaiku kian menggelayut manja. Seolah ingin pamer pada dunia dialah milikku. Entah karena alasan apa dia begitu mencintai diri ini. Padahal deretan lelaki tampan nan mapan berderet meminta harapan. Berbaris mengemis perhatian.
Rima bahkan tahu jika Lilis adalah kekasihku. Maka ketika melihat gadis desa itu datang ke undangan, Mempelaiku pamer kemesraan seolah memproklamirkan diri sebagai pemilik diri.
Lilis berlalu dengan gontai. Langkahnya terlihat terseok. Sang suami melirik tajam tanda tak suka pada sikapnya yang mendadak murung. Cekcok tak bisa dibendung. Sekilas kulihat mereka berdebat dan Lilis pergi cepat meninggalkan sang suami yang tengah memendam amarah. Lelaki yang berhasil mengalahkanku itu, tahu jika hati sang istri tak sepenuhnya dimiliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembantuku Maduku
Teen FictionBerharap bahagia saat menikahi seorang perempuan rupawan nan mapan. Nyatanya Azam hanya merasakan hidup penuh tekanan. Satu hari bersua dengan seorang asisten rumah tangga yang tak rupawan namun berkepribadian menawan. Bagaimana kisah cinta rumit an...