POV ANIDA
*
Ada rasa hangat yang menjalar dari tanganku yang kaku. Mengalir hawa segar hingga tembus ke dada yang sesak. Seolah kutemukan oase dari raga yang kerontang. Sejuk terasa seolah hilang dahaga. Aku merasa melayang di awan. Ragaku terasa begitu ringan.
Mata ini terasa berat untuk kubuka.
Pelan tapi pasti, kubuka jendela dunia gelapku. Sinar lampu membuat mataku silau. Bola lampu itu persis berada di atas ranjang tempatku berbaring.Tanganku satu terasa ngilu pengaruh infus. Pegal karena urat nadi dibebani cairan obat. Sulit untuk kugerakan. Tangan satunya juga sulit untuk kutarik. Satu tangan kekar dengan erat menggenggam. Enggan melepaskan.
Orang yang coba kuusir dengan paparan kenyataan tentang siapa, darimana dan bagaimana kelam hidupku ini. Mengapa tak pergi? Kenapa tak berlari?Malah dengan erat mengikat tanganku agar bertaut dengan tangan hangat nan kokoh miliknya.
Seolah dirinya tak mau kehilangan. Tak ingin ada perpisahan. Bahkan dia tak menyingkir meski tahu diri ini orang pandir. Tak menepi meski raga ini tak layak dicintai.
Kuelus kepalanya dengan pelan setelah tanganku terlepas. Rasa iba dan terima kasih bercampur jadi satu. Rasa itu juga yang kurasakan pada Azam.
Rasa kasihan saat tahu bagaimana cerita kehidupan rumah tangganya. Bagaimana nasibnya dan Aletha yang harus mendapatkan perlakuan tak meng-enakkan dari sang istri.
Aku tak pernah membenarkan dirinya menikahi diri jika hanya pelarian dan tanpa restu dari istrinya yang sakit. Tapi juga tak kuasa menolak karena keadaan. Jika tak memanfaatkan kehadirannya, mungkin diri ini sudah menjadi santapan empuk si bandot tua pemangsa.
Kami bersatu dalam ikatan pun bukan sebagai pasangan normal. Aku hanya pernah disentuh sesaat setelah akad. Lalu pelukan saat perpisahan kami di batas desa.
Ketika diri ini mengantarkannya pulang ke kota setelah pemakaman bapak. Aku tak pernah tahu rasa yang sesungguhnya padanya.
Apakah aku rindu ketika mengingatnya itu sebagai cinta, atau butuh tempat berlindung karena tak punya sesiapa?
Pun aku tak tahu bagaimana perasaan ini pada Gerald.
Yang kutahu aku berterima kasih dan bersyukur karena kehadiran mereka. Mereka adalah malaikat penyelamat yang membuatku masih hidup dan berjalan dengan aman di muka dunia.
"Kamu sudah sadar, Nid?"
Aku terkesiap. Kaget jika gerakan tanganku nan lembut malah membangunkan tidurnya yang lelap. Padahal aku sangat hati-hati ketika mendaratkan tangan lemah ini di pucuk kepala.
"Sudah, Bang. Kenapa Abang tidur di sini?"
"Masih tanya lagi. Kamu itu pingsan semalaman. Siapa yang tak khawatir. Kondisi kamu nge-drop. Darah kamu itu rendah sekali. Hingga habis berapa infus baru sadarkan diri. Masih pusing?"
Aku tersenyum. Rasanya seperti punya peliharaan beo yang berisik sekali. Berkicau tanpa jeda. Oh, begini rasanya diperhatikan. Begini rasanya dicintai?
Hal yang tak pernah aku alami seumur hidup ini. Aku hanya selalu berkorban dan berkorban. Tersakiti dan mencari pengamanan dari kejaran orang yang dengan tega memanfaatkan.
"Alhamdulillah sudah baikan. Hanya tinggal lemas badan."
"Cem mana nggak lemas. Sudah hampir seminggu ini tak ada asupan makanan yang benar. Hanya makan bubur itupun cuma sesuap. Malnutrisi kamu itu, Nid! Stunting!"
Aku tersenyum lebar. Ada saja ucapan dan tindakan Gerald ini. Selalu mampu melucu. Orangnya memang supel dan baik hati. Ramah pada siapapun. Makanya sejumlah bisnis yang dijalani lancar dan mendapatkan banyak pelanggan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembantuku Maduku
Teen FictionBerharap bahagia saat menikahi seorang perempuan rupawan nan mapan. Nyatanya Azam hanya merasakan hidup penuh tekanan. Satu hari bersua dengan seorang asisten rumah tangga yang tak rupawan namun berkepribadian menawan. Bagaimana kisah cinta rumit an...