Delapan Belas

336 14 3
                                    

POV Azam.

***

"Mama! Mama Nida!"

Panggilan spontan untuk Anida yang kudengar dari membuatku melihat pada putriku tercinta, Aletha. Sejurus kemudian mata ini terpaku menatap wajah pucat dari seorang perempuan yang kucari selama ini.

Dia terpaku berjalan bersebelahan dengan lelaki tampan bermata sipit yang telaten menjaganya. Terlihat kaku ingin menggandengnya. Meski ada penolakan dari Anida.

Sejurus kemudian dia makin kikuk ketika Aletha memeluk lutut. Mengunci langkak kaki Nida yang kian limbung.

"Letha! Apa kabarmu, Nak?"

Segera dirangkulnya tubuh mungil Aletha yang mencari perhatian.

Perempuan berwajah pucat ini jongkok mensejajarkan diri dengan anakku. Mengelus lembut pipi si mungil dalam pelukan. Mengusap air bening yang tak henti mengalir dan berakhir menjadi isakkan.

Aku hanya mematung. Meski berjuta kata berkecamuk di dada. Berjuta tanya bergemuruh dalam jiwa. Tentang kemana dia selama ini. Bagaimana kabarnya. Siapa yang kini tengah bersamanya.

"Kalian duduk saja, Yuk! Jangan di lantai. Nanti kamu pingsan lagi, Nid!"

Seruan dari lelaki yang bersama Anida terdengar. Lelaki itu bahkan ingin merangkul tubuh mungil yang tampak begitu lemah itu untuk dipapahnya.

Aku setengah berlari menuju ke arah istri dan anakku. Menepis tangan yang hendak membantu mereka untuk berjalan ke bangku ruang tunggu obat.

Kutepiskan tangan yang hendak menggenggam tangan Anida. Kurangkul istriku itu. Kupapah dia melangkah menuju kursi yang kebetulan lengang karena masa menembus obat telah lewat.

Anida kaget melihat responku. Seolah merasa tak enak hati. Matanya malah fokus pada lelaki yang bersamanya. Raganya yang lemah seolah menolak bantuan diri ini. Dia merasa tak nyaman kupegang. Seolah merasa salah lakukan itu.

Lelaki yang membersamainya juga terlihat marah. Emosi dalam lirikan tajam matanya yang seolah menikam saat melihat perhatikanku.

Aku malah sengaja merangkul bahu Anida. Ingin ku tunjukkan padanya diri ini siapa. Tak pantas pandangan tak suka melihatku memegang pasangan halalku. Dia istri siriku!

"Kamu sakit apa? Wajahmu sangat pucat, Nid!"

Aku duduk di ubin, dibawah kakinya seolah tengah berlutut. Kutekuk kaki ini sejejar dengan tubuhnya yang menunduk tak melihat wajahku. Ubin menjadi fokus pandangannya.

Kudongakkan dagunya dengan tangan. Lembut kuangkat agar bisa bersitatap. Kucari kerinduan dalam tatap sayunya. Kucari cinta dalam manik mata hitam kecoklatan miliknya. Berharap rasa rindu itu ada.

Matanya berkaca. Lidah tak bersuara. Hanya derai air bening yang menyerta. Luka dan tekanan batin kulihat dalam mata yang jarang terlihat binar bahagia karena sejumlah beban kehidupan yang tak pernah ringan. Kasihan engkau Anida!

"Mama jangan nangis. Aku nyari mama ke rumah eyang. Mama nggak ada di sana. Kami cari tapi rumah sudah kebakaran. Huu ...."

Tangis Aletha pecah ketika linangan air mata Anida tak berhenti menganak sungai di pipinya.

Anida menatap intens mata anakku. Sejurus kemudian lalu menarik raga mungil itu dalam dekapannya. Menjadi pelampiasan amarah, rindu, benci, juga luka batin. Menangis sejadinya.

"Mama kira kalian tak akan datang. Kalian lupakan mama ...." ucapnya disela tangisan.

"Ayahnya Rima meninggal ketika kami datang ke Jakarta. Sehabis pernikahan kita. Rima juga mengalami gangguan jiwa. Saya tak bisa datang tepat waktu untuk menjemputmu. Kondisi Rima sangat buruk."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 24, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pembantuku Maduku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang