POV Anida
Aku berlari bagai dikejar anjing galak yang siap mengoyak raga. Tak lagi kuperdulikan kaki yang berdarah dan raga yang tergores ranting dan ilalang. Niatku pergi menjauh agar tak jadi mangsa si tua. Fedofilia. Tuan Pranoto.
Asa dan citaku hancur saat tahu jika semua yang membuatku mencapainya karena kesepakatan gila dengan bandot tua. Tak dinyana untuk seluruh biaya sekolah dan kuliahku berasal dari hutang dengan bunga yang tak masuk akal dari Tuan Pranoto.
Harapan bapak ingin anaknya bisa mengangkat derajat orang tua dengan cara menyekolahkan ke jenjang pendidikan strata satu akhirnya harus hancur dan kandas di tengah jalan.
Sabotase Tuan Pranoto telah menggulingkan usaha yang dirintis bapak sedari remaja. Semuanya hancur akibat tipu muslihatnya.
Semua dilakukan karena Tuan Pranoto ingin menguasai wilayahnya. Bapak termasuk salah satu pesaing. Ketika bapak sudah terjerat hutang dengan orang suruhannya dengan leluasa dia mengambil segala milik keluarga.
Bahkan yang terakhir ingin menjadikanku sebagai salah satu istrinya. Sadis. Bengis. Tak berperikemanusiaan.
Tak pantas disebut seorang insan. Menghalalkan berbagai cara demi ambisi dan mendominasi. Semua halal baginya.
Derap langkah kaki kudengar kian mendekat. Degup jantung bertalu kian cepat. Semak belukar yang rimbun kusibak dan tanpa berpikir panjang menjadi tempat persembunyian. Tak lagi kuhiraukan takut binatang berbisa atau rasa gatal yang mendera.
Kutahan napas saat langkah cepat para pekerja Pranoto lewat tepat di depan. Beberapa detik aku menahan asupan oksigen yang membuatku sesak karena kekurangannya.
Kuembuskan perlahan napas yang membuatku sesak. Pasukan penjaga Pranoto telah menjauh. Tak jua membuatku beringsut untuk keluar dari persembunyian. Lebih memilih diam hingga aman.
Sepasukan semut rangrang begitu anteng mengeremuni badan. Tak kugubris walau sakit, ingin menangis. Satu suara desisan persis di belakang membuatku terhenyak.
Mataku beradu dengan makhluk licin berukuran satu meter panjangnya yang tengah gagah menatap tajam dan memamerkan lidah. Hanya beberapa centimeter dari raga.
Dalam hitungan detik makhluk melata itu mematukan bisanya pada tanganku yang berusaha menghalaunya.
Nyeri menjalar ke seluruh tubuh. Linu. Kesemutan. Mati rasa seketika. Dengan terhuyung kuberjalan secepatnya menuju jalan raya.
Kepala rasanya berputar. Hingga akhirnya terkulai lemas di pinggir jalan. Tak ingat apapun.
*****
POV Rima
Aku tatap wajah yang begitu serius dan tanpa ekspresi. Wajah yang selalu kurindukan walau berdekatan. Bak candu. Tak sanggup rasanya harus kehilangan dia walau sedetik saja.
Mengapa masih juga tak memahami betapa diri ini mencintai dan membutuhkan. Aku singkirkan semua perempuan dari sisinya karena takut kehilangan.
Bagaimana jika dia melirik yang lain yang lebih cantik. Mencari pelabuhan hati yang lain jika terus berjumpa. Bukankah cinta akan hadir jika terbiasa?
"Aku bisa saja mencari yang lain atau selingkuh, Ma. Hanya saja aku tak hanya memikirkan hasrat semata. Aku punya anak. Berharap anakku menjadikanku pahlawan dihatinya. Maka aku tak pernah berpikir mengkhianati kalian."
Aku hanya diam mendengar dia berbicara dengan pelan. Tak patut aku bersuara saat emosinya tengah meninggi. Baru saja aku berhasil mengajaknya kembali. Aku takut dia berubah pikiran.
"Mudah bagiku bersembunyi dari pengawasanmu. Kamu tak bisa mengawasiku selalu tanpa lengah tapi untuk apa, aku bermain gila. Percuma. Sepandai-pandainya aku menyimpan bangkai pasti akan ketahuan juga. Tercium bau busuknya. Jadi berhentilah bersikap konyol dan memenjarakanku di rumah dan kantorku sendiri. Aku sesak dan tak bernapas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembantuku Maduku
Teen FictionBerharap bahagia saat menikahi seorang perempuan rupawan nan mapan. Nyatanya Azam hanya merasakan hidup penuh tekanan. Satu hari bersua dengan seorang asisten rumah tangga yang tak rupawan namun berkepribadian menawan. Bagaimana kisah cinta rumit an...