Perjalanan ke rumah Abah dan Ambu adalah hal paling menyenangkan untuk Aletha. Betapa tidak, pemandangan indah sepanjang perjalanan, suasana desa yang menentramkan adalah obat penat baginya dari himpitan pohon beton yang selama ini dilihat setiap hari.
Gunung yang menjulang tinggi begitu gagah tak tertandingi. Ladang petani yang menghijau juga tak kalah mempesona dengan segala palawija dan sayuran yang beraneka rupa.
Pesawahan di bagian bawah gunung dengan sungai yang mengalir deras berkelok tampak elok. Sungguh maha karya Sang Pencipta yang tiada bandingannya.
Hawa sejuk tanpa polusi juga begitu menentramkan hati. Inilah tanah kelahiranku. Dimana aku dibesarkan dan hidup menjadi anak seorang buruh tani.
"Kenapa kita pergi tanpa Mama, Pah?"
Wajah Aletha yang polos menagih jawaban.
"Mama sibuk sekarang. Jadi kita liburan berdua, boleh?"
"Kita liburan yang lama ya, Pah. Beneran? Aku ingin tinggal di sini saja jangan kembali ke Jakarta," celotehnya riang.
Aku tahu Aletha akan senang jika kuajak pulang. Dimana dia bisa merasa menjadi bintang dan pusat perhatian. Dia menjadi putri sejati dengan perhatian tak terganti. Semua orang di kampung menyayangi dan menjadikannya begitu berarti.
Sedangkan di Jakarta sepanjang hari aku selalu sibuk dengan pekerjaan kantor. Pergi sebelum dia terjaga dan pulang setelah dia terlelap. Hanya akhir pekan saat bersamanya menghabiskan waktu sepanjang hari.
Ibunya ada tapi seolah tiada. Tak menjadi teman dan pendengar setia setiap ceritanya. Ketika punya pengasuh tak bisa bertahan lama. Akan kena pecat sesaat berbuat silap.
"Aku senang kita pergi berdua, Pah. Kalau pergi sama mama nggak seru. Kita asyik bermain, mama hanya asyik dengan Handphone. Sama ketika lagi di rumah. Mama tak pernah mau main denganku. Mama selalu sibuk dengan temannya."
Aku hanya mampu mengepal tangan. Meremas gemas kemudi. Ingin rasanya berteriak atas ketidakmampuan diri menjadi pemimpin dan mendidik istri.
Hari ini aku pergi setelah menulis sepucuk surat. Aku harus bersikap. Tak ingin mengalah demi Aletha. Aku ingin Rima bersikap sebagai ibu yang baik. Menjaga dan merawat keluarga.
Aku pergi, Mah. Sudah bosan aku mengeluh dan bertengkar atas sikap burukmu. Merengunglah apa yang salah. Aku kira kamu tak bisa menjaga Aletha. Bahkan menjaga diri sendiri pun tak bisa. Lebih baik aku pulang kampung dan menitipkan Letha pada Abah dan Ambu. Dia akan dijaga sepenuh jiwa tidak seperti oleh ibunya.
Mungkin aku akan lama tinggal di kampung untuk menenangkan pikiran. Terserah apa maumu. Kasihan Letha. Kamu tak jaga, tak boleh juga mencari pengasuh untuknya. Setidaknya harusnya ada asisten rumah tangga juga di rumah.
Aku tak punya tenaga menjaga dan merawatnya sekaligus bekerja. Aku kira kamu tak mau dan mampu menjaga dan merawat Letha. Aku pergi karena mungkin ini jalan yang terbaik untuk kita.
Aku capek harus juga bebenah rumah setelah kerja dan sampai di rumah.
Entah kapan selembar kata yang kutinggal akan di baca. Jika sudah pergi pesta Rima akan terlambat bangun tidur karena efek alkohol. Pasti sekarang juga masih tumbang berkawan bantal dan guling.
*****
"Woi, Azam! Pulang nggak, Luh?"
Suara bak geledek terdengar hingga ke pekarangan belakang. Suara Rima di ambang pintu sambil berkacak pinggang.
"Rima, Yap masuk, Nak. Azam dan Letha ada di pekarangan belakang. Dia sedang memberi makan ikan," sambut Ambu menyapa sang menantu.
Bukannya mencium tangannya merengkuh hormat. Rima langsung menerobos masuk ke rumah panggung yang berlantai papan kayu. Tak menjawab atau menoleh sedikitpun pada perempuan renta penyebab diri terlahir kedunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembantuku Maduku
Teen FictionBerharap bahagia saat menikahi seorang perempuan rupawan nan mapan. Nyatanya Azam hanya merasakan hidup penuh tekanan. Satu hari bersua dengan seorang asisten rumah tangga yang tak rupawan namun berkepribadian menawan. Bagaimana kisah cinta rumit an...