Suara merdu seseorang melantunkan shalawat membiusku. Langkah kaki yang gontai akibat lelah terhenti. Dada ini berdenyut sakit. Telah lama lantunan syair pujian tak lagi kudengar.Kata pujangga pecinta Sang Baginda hanya kudengar saat SMA. Kali terakhir aku dengar saat perpisahan sekolah sebagai pembuka acara bersanding Kalam Illahi.
Sudah lama hidupku hanya berkutat dengan suara berisik musik menghentak. Dimana minuman dan pergaulan bebas adalah hal biasa.
Tak lagi ada halal dan haram. Aku menjadi pribadi hedonis tak berTuhan karena hidup di negeri rantau. Hampir 8 tahun aku hidup di negeri kincir angin. Belanda.
Begitu sibuk kehidupanku dengan aktivitas kuliah dan juga kerja part time. Aku hampir tak pernah ingat akan shalat kecuali jika hari raya tiba.
Aku masih ingat jika di dalam KTP aku berstatus seorang muslim dan ingat perayaan kemenangan bagi seluruh muslim di dunia. Itupun aku hanya mengingat tapi tak pernah ikut shalat.
Maklumlah mesjid jauh dari tempat tinggalku. Aku tak mau juga harus cuti dan kehilangan piti karena menjemput shalat Iedul Fitri.
Di Belanda aku sudah lupa bagaimana cara membaca Kalamullah. Yang kutahu hanya neraca perhitungan ekonomi kelas tinggi. Bagiku itu yang utama.
Suara itu berasal dari kamar Aletha. Kuyakini jika itu suara itu adalah suara Anida. Perempuan yang kubawa pulang tadi siang.
Gadis berkulit coklat dengan baju gombrong dan hijab lebar itu masih saja kelihatan syok sedari pulang ke rumah. Kejadian naas yang menimpa begitu meninggalkan bekas.
Perempuan muda kira-kira berusia dua puluh tahun lebih itu masih bungkam saat ditanya identitas dirinya. Pun juga segala yang menimpa padanya.
Dengan terpaksa dan berbuntut protes juga kemarahan Rima, istriku. Kubawa pulang gadis yang bungkam.
Malam ini, di tengah malam terdengar suara merdunya melantunkan shalawat. Sepertinya tengah menenangkan Aletha yang kadang terbangun di malam buta dan menangis kencang.
Suara itu perlahan menghilang.
Langkahku kian mendekati kamar Aletha. Saat sayup kudengar mereka bicara. Aletha tampak begitu riang saat dongeng kesayangan dibacakan.
Rima yang mengekor dari belakang terhenyak saat tahu Aletha dengan mudah berbaur dengan gadis berhijab yang baru dikenalnya.
Aletha anak yang tak mudah akrab dengan siapapun. Bahkan dengan pengasuhnya yang selalu berganti hanya karena tak mau didekati siapapun.
Sudah lama bahkan hanya mau dijaga oleh tetangga yang selalu datang pagi membersihkan rumah dan pulang petang hari. Sekarang hanya itu asisten rumah tangga kami.
Rima membiarkan perempuan tua itu bekerja karena tidak takut aku akan tergoda olehnya. Untuk kriteria asisten rumah tangga atau pengasuh juga sangat ketat bagi Rima yang pencemburu terutama tak boleh muda dan jelita. Itu ancaman baginya.
"Dia bisa menjaga Letha, Mah. Kenapa kita tak ambil jadi pengasuh jika dia mau. Sepertinya dia tak punya rumah untuk pulang. Lumayan juga bisa mengajari Letha ngaji."
"Tapi ...." tolak Rima ragu. Aku tahu dia takut jika gadis kampung berbaju daster bekas asisten rumah tangga yang tertinggal di rumah karena kabur itu akan menggodaku.
"Tapi kamu cemburu dan takut aku akan tergoda olehnya? Bodoh! Kamu tidak lihat rupa gadis itu. Cantik?"
Rima hanya tersenyum. Gadis itu jauh dari kata cantik. Kulitnya hitam terbakar. Wajahnya terlalu biasa untuk bisa membangkitkan hasrat seorang Azam sang suami yang Tampan mempesona banyak kaum hawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembantuku Maduku
Teen FictionBerharap bahagia saat menikahi seorang perempuan rupawan nan mapan. Nyatanya Azam hanya merasakan hidup penuh tekanan. Satu hari bersua dengan seorang asisten rumah tangga yang tak rupawan namun berkepribadian menawan. Bagaimana kisah cinta rumit an...