Empat Belas

262 14 4
                                    


POV Anida.

***

Gerald serta mamanya memang non muslim. Mereka berbeda keyakinan dariku. Namun, mereka tak pernah sekalipun menyinggung perbedaan kami.

Ketika mama Gerald menangkup tangan di dada, di depan patung bunda Maria ketika berdoa, aku menyaksikan dengan seksama.

Kala butiran Rosario dititi dengan lantunan kidung Tuhan menyertai aku menghormatinya.

Pun kala aku bersujud dalam bait doa shalat mereka jadi saksinya. Ketika lantunan ayat Al Qur'an kugumamkan mereka pun mendengarkan.

Tak pernah mereka berkeluh ketika suara adzan berkumandang dari sebuah aplikasi di ponsel penanda waktu shalat bergema. Sengaja kusetel untuk mengingatkan waktu bersujud menghadap Sang Pencipta.

Wajah mereka berkerut tanda tak suka, ketika aku meminta pindah tempat tinggal ke ruko tempatku bekerja.

Memilih tidur di sana dibandingkan terlelap nyaman di pembaringan empuk istana mereka nan megah.

"Ada yang salah dengan rumah kami? Ada perlakuan kami yang kurang? Kami salah apa?"

Pertanyaan bertubi terlontar dari bibir Mama Gerald yang kecewa dengan permintaan yang dirasa aneh ini.

Bagaimana bisa kasur empuk ukuran king size akan kalah dengan tikar tipis di atas ubin dingin. Tak mungkin. Makanan yang selalu melimpah ruah yang tak mungkin dibeli dari gaji yang tak seberapa ditolak, ditukar nasi warteg yang berharga tak seberapa.

Aneh.

Aku terhenyak merasa bersalah telah menyinggung perasaan dua ibu anak yang tanpa pamrih baiknya terhadapku.

"Justeru mama sama Mas Gerald terlalu baik. Itu yang membuat saya sungkan. Tak nyaman."

Aku menunduk. Tangan ini mempermainkan ujung hijab yang kukenakan. Tatapan mereka serasa menikam.

"OMG .... Nida!" pekik Gerald kesal.

"Kami sudah anggap kamu keluarga. So, jangan merasa selalu jadi orang luar. Kenapa harus sungkan?"

Aku kian tertunduk. Tak mampu menatap wajah mereka yang kecewa.

"Harusnya kamu bahagia kami menganggap keluarga. Bukan merasa jadi beban di dada, ya, kan, mah? Buat mama Anida bagaikan puteri sendiri?"

"Benar, Nid. Jangan sungkan. Kamu nggak usah pindah. Tinggal saja di rumah. Di ruko itu kamu harus tidur di ubin yang dingin. Bercampur pula dengan barang. Tak akan nyaman."

"Iya, Mah. Tapi ...."

"Nggak ada tapi, mau ngapain di sana. Makan nyari sendiri. Di sini kamu bisa makan sepuasnya. Tak usah pusing memikirkan menu apa. Lebih baik sekarang istirahat. Besok kamu akan lelah bekerja di toko. Apalagi sudah mau musim haji. Biasanya banyak pelanggan datang," pungkas Mama Zenita mengakhiri pembicaraan dan segera masuk kamar.

Aku hanya terdiam. Mematung. Usahaku untuk menjauhi lelaki gagah yang kutemui setiap hari dan kadang bersikap begitu manis itu gagal sudah.

Padahal aku hanya takut jika hati ini goyah jika bersama satu atap dengannya. Sebagai perempuan biasa, aku juga mengagumi ketampanan dan pesona keelokan pribadinya. Hal yang normal untuk seorang perempuan dewasa yang bahkan tak pernah tahu apa itu arti cinta. Karena sepanjang hidup hanya lelah berjuang bertahan dari perihnya kehidupan.

Bukankah aku punya Azam? Lelaki yang sudah mengikat tali suci. Melabeli diri sebagai seorang istri. Aku tak bisa bebas menyimpan siapapun dalam relung kalbu. Karena harusnya hanya dia yang bertahta.

Pembantuku Maduku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang