Enam Belas

266 12 2
                                    


POV Azam
***

Aku mematung. Lagi dan lagi Rima membuat diri ini merasa tiada guna. Tubuh pucat dengan selang infus dan peralatan penunjang kehidupan terpasang.

Aku lelah. Tak tahu lagi harus bagaimana. Aku sudah jenuh menghadapi sikapnya. Apakah mungkin Rima akan sehat seperti semula?

Andai kata ingatannya tak kembali. Ijinkan dia tenang dan diam seperti bayi yang lahir kemarin. Bukan seperti sekarang. Selalu menyakiti diri dan orang sekitar.

Pernah terpikir untuk memasungnya seperti adat istiadat di kampung. Memberi pasungan berupa kayu gelondongan yang digembok di kaki. Hingga Rima tak akan bergerak lagi. Apalagi menyakiti diri atau siapapun di dekatnya.

Tapi dia bukan binatang. Sungguh tak manusiawi jika dia tak bisa bergerak dan melakukan segalanya dalam sebuah alat yang mengurung kebebasan.

Lantas aku harus bagaimana lagi. Bahkan RSJ yang kuharap akan menjadi tempat teraman malah hampir menjadi kuburan.

Seketika terlintas pinta jika Rima mati saja. Namun, kutepis dengan kalimat istighfar.

Tidak! Jika aku sudah tak sanggup dan bosan dengan dirinya yang merepotkan. Aletha tetap butuh sang bunda ada. Aletha membutuhkan ibunya.

"Bersiaplah untuk kemungkinan terburuk, Pak! Kami sudah mengupayakan semaksimal mungkin. Sekarang hanya tinggal menunggu keajaiban. Semangat pasien jugalah yang akan membawanya kembali pulang." Dokter mengelus punggung mencoba menguatkan.

Suara terlintas di benak yang memprovokasi diri untuk menginginkan kematian Rima seketika sirna. Air mata ini tumpah lagi.

Aku menyayangi istriku dengan segala keburukan dan kekurangan dirinya. Aku telah bersumpah menjaga dan mencintai dirinya ketika jabatan tangan akad nikah.

Tak akan kumenyerah hanya karena dia jauh dari kata sempurna. Bukankah kewajibanku untuk mendidik dan membuatnya paham akan agama.

"Lekas sehat, Ma! Ayuk pulang. Aku akan menjadikanmu seorang makmum yang baik. Tugasku untuk membuat dirimu berubah. Kita akan memperbaiki semua bersama. Aku ingin kamu menjadi istri yang shalihah. Ibu yang baik bagi Aletha. Jangan pergi sebelum kamu bisa menjadi versi terbaik dalam hidupmu. Agar kelak kamu akan mendapatkan keringanan hisab."

***

"Saya bukan bayi, Bang! Kita balik ke ruangan, ya, sudah satu jam saya dijemur bagai ikan. Nanti jadi ikan asin bagaimana?"

Samar kudengar suara perempuan yang mirip dengan Anida. Tapi terdengar berat dan begitu lemah.

Tidak! Bukan dia. Mereka hanya pasangan pengantin baru yang tampak begitu bahagia. Tepisku.

Lelaki yang membersamainya tampak begitu telaten menjaga. Terlihat kesal akan sikap sang perempuan yang tak mau diatur. Padahal sungguh lelaki itu menunjukkan perhatian yang utuh.

Sekilas perempuan itu memang mirip dengan Anida. Fostur tubuh dan wajahnya juga terlihat hampir serupa meski tersembunyi disebalik masker kesehatan dan aku melihat dari kejauhan.

Semua yang kulihat seolah hanya dirinya. Karena aku merindukannya. Aku ingin memeluk raganya. Aku ingin mendengar kata bijak yang selalu membuatku mampu bertahan menghadapi kerasnya jaman.

"Ngeyel! Kalau jadi pasien harus dengar apa kata dokter! Hepatitis itu salah satu penyebabnya kurang terkena sinar matahari. Nah, salah satu terapi pengobatannya juga dengan penggunaan sinar UV. Rajin berjemur akan membuat kuning di tubuhmu ilang. Kalau masalah nutrisi, mama yang nanti akan tangani. Siap saja kamu makan ikan setiap hari. Jangan nolak! Ini untuk kesehatan kamu!"

Pembantuku Maduku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang