POV Rima.
Kepalaku masih berdenyut sakit. Kamar hotel suite room ini terasa sempit karena kepalaku yang pening. Efek alkohol sisa semalam masih tertinggal.
Heran, entah mengapa Azam tak suka dengan syurga dunia ini. Padahal semua kenikmatan ini membuatku bisa melayang tinggi. Namun, Azam malah memilih meninggalkan semua fasilitas yang nyaman demi sebuah harga diri mati-matian.
Belum lama ini bahkan pindah dari apartemen ke rumah yang ukurannya kecil untukku yang biasa tinggal di rumah yang bak istana dan apartemen yang berharga wow.
Ah, betapa aku benci dengan sikapnya yang kampungan. Tak mau diajak sekedar jalan-jalan. Lebih baik bekerja sambil menjaga Aletha kilahnya. Daripada harus pergi menghabiskan dolar.
Lebih baik uangnya ditabung untuk masa depan. Like father, like son. Buah tak jatuh jauh dari pohonnya.
Abah, mertua lelakiku sering berpetuah,"Hirup mah ulah kumaha engke tapi engke kumaha."
Bosan dan hampir muntah aku mendengarnya. Hidup itu jangan bagaimana entar tapi entar bagaimana.
Ah, buatku, entar itu bagaimana yang penting sekarang, karena aku hanya hidup itu satu kali maka harus kunikmati tanpa harus banyak berpikir ini dan itu hingga stres sendiri.
Satu hal yang membuatku salut pada Azam dan keluarga. Kecuali mau menerima bantuan dari papa sebagai sponsor beasiswanya dia tak pernah mau menengadah tangan berbelas kasih pemberian mertua.
Keluarganya pun tak pernah mau mendapatkan bantuan finansial. Mereka masih betah dengan kesahajaan dan gubug bambu daripada pemberian dari anak dan mantu. Padahal aku ingin mertuaku hidup di tempat yang layak huni, bukan gubug bambu sederhana yang mencoreng citraku sebagai orang kaya.
Berkali Azam melarang untuk menerima uang pemberian papa berupa credit card yang unlimited. Selalu dia katakan jangan boros dan cukup uang gajinya saja untuk berbelanja.
Senyum sarkasme kuperlihatkan. Aku tahu pasti gajinya berapa, mana mungkin akan cukup membiayai gaya hidupku yang glamor.
Kutolak mentah-mentah. Lantas Azam akan menabungnya dengan dalih untuk masa depan Aletha. Bodoh! Untuk Aletha semua sudah tersedia. Harta kekayaan papa tak akan punah tujuh turunan. Dasar kampungan.
Raung notifikasi serta panggilan telpon datang. Dengan kepala yang masih berat kuangkat.
"Ya, hallo. Apa?! ...."
Ponsel keluaran terbaru berlogo apel separuh itu terhempas dari tangan. Jatuh terpental masih dengan keadaan menyala.
Kutangkupkan tangan menutup mulut yang tak kuasa menjerit memanggil papa.
Kabar duka itu datang bagaikan gelombang petir menyambar di waktu matahari benderang. Silau cahayanya membuatku seketika buta. Gelap semua.
Ragaku yang masih limbung karena wiski kini dihantam pula berita duka. Papa yang teramat kucinta telah berpulang. Mataku mengunang. Lalu kabut gelap itu menutup kesadaran. Aku terjungkal. Pingsan.
***
Dengan bantuan sahabatku yang datang bersama ke party di negeri kepala singa. Singapura. Aku berhasil pulang dengan separuh kesadaran.
Tak bisa lagi kuterima panggilan yang datang dari Azam atau keluarga yang lainnya. Ragaku terlampau lemas untuk sekedar bicara dan menerima panggilan. Aku hanya menggumam memanggil papa tanpa bisa bicara apa-apa.
Raga ini seakan melayang tak menapak tanah ketika kibaran bendera kuning menyambut di pintu gerbang.
Kuberlari sekuat tenaga mengumpulkan tenaga yang tersisa melihat raga tanpa nyawa yang telah tertutup kain kapan dan hanya menyisakan bagian wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembantuku Maduku
Teen FictionBerharap bahagia saat menikahi seorang perempuan rupawan nan mapan. Nyatanya Azam hanya merasakan hidup penuh tekanan. Satu hari bersua dengan seorang asisten rumah tangga yang tak rupawan namun berkepribadian menawan. Bagaimana kisah cinta rumit an...