Sebelas.

2.1K 76 0
                                    


POV Azam

***

Almenak sudah kulingkari dengan tinta merah. Tanggal yang harus kupenuhi janji untuk menjemputnya. Anida. Perempuan yang kuhalalkan dan kutinggal dengan hanya sebuah kartu ATM di tangan.

Bagaimana aku bisa pergi meninggalkan Rima yang dalam keadaan jiwa terguncang?

Tinggal seminggu lagi waktuku habis untuk menjemputnya. Rasa was-was menyergapi hati ini. Bagaimana jika si Datuk Maringgi akan datang mengganggunya.

Bagaimana jika perempuan yang selalu menganggu pikiran meski saat bersama Rima itu, jenuh menanti dan pergi karena bosan. Mungkin bukan bosan tapi lebih tak percaya karena tak ada sepatah kata pun dariku mengabarinya.

Maaf, Nida. Aku tak bisa pergi kemanapun. Langkahku terpasung di sini. Bukan karena tak perduli tapi lebih pada priority.

Rima tengah rapuh, tak mungkin kutinggalkan sendiri. Kamu lebih tegar darinya dan telah terbiasa diterpa beban masalah, tapi Rima, dia bagaikan sebuah pohon dengan akar yang tiada kuat menopang. Pijakkannnya terlalu rapu.

Seumpama bangunan yang berdinding kokoh, tinggi dan menjulang tapi tanpa pondasi yang mumpuni. Rentan roboh meski hanya dengan guncangan kecil.

Kutatap lagi raga lemah yang terbaring tiada daya setelah beberapa pil membuatnya terlelap.

Di mana sosok garang yang sering mendelik dengan kata yang tajam bak belati itu? Kini mulut mungilnya hanya meracau memanggil papa.

Aletha terdiam dengan tatapan pilu. Meski benci dengan segala kekasaran mamanya, dia lebih suka mendengarkan teriakan dan bentakan daripada melihat tergolek lemah.

Kepala ini rasanya mau pecah. Hati terbagi antara dia yang harus kurawat bagaikan seorang bayi dengan perempuan yang kuhalalkan dan menanti kepastian di sana.

Ah, dilema. Aku harus bagaimana?

***
POV Anida

*

"Astaghfirullah," pekik perempuan paruh baya yang menatap tak berdaya ketika sebagian belanjaannya tercecer ke mana-mana.

Buah jeruk dan kentang berlomba pacu lari meninggalkannya pergi. Niat hatinya ingin memungut satu persatu. Apalah daya kakinya hanya terpaku dan terdiam tanpa bergerak sama sekali.

Aku segera memungut yang tercecer. Raga tua itu menyunggingkan senyum. Sekilas gurat kecantikannya tak tergerus waktu meski bayangan keriput di wajah sudah nampak jelas.

"Ini, Bu. Pakai kantong milik saya saja. Kebetulan saya membawa lebih," ucapku seraya mengulurkan kantong keresek berisis buah jeruk dan kentang yang telah berhasil kumpulkan.

"Makasih, Nak, maaf merepotkan, saya sedang menunggu anak saya menjemput. Macet mungkin, jadi telat datang.  Padahal dekat dari sini rumah ibu. Apalah daya lutut sakit bawa belanjaan segini banyak jadi harus terus menunggu. Barusan barang bawaan terjatuh juga hanya bisa melihat tanpa mengambilnya."

"Tidak merepotkan sama sekali, Bu. Saya antar saja kalau begitu. Saya bawakan belanjaan ibu. Di sini panas sekali kalau menunggu kaki juga bisa pegal. Ibu silakan jalan duluan saya ikuti dari belakang," tuturku segera mengambil beberapa kantong belanjaan.

Si ibu tersenyum. Lengkung sabit memperelok parasnya yang masih terlihat begitu menawan.

"Baiklah, terima kasih. Ayuk! Jika tak merepotkan," tukasnya sembari berjalan perlahan.

"Ibu punya asam urat makanya nggak bisa jalan cepat. Ini lagi kumat. Pembantu ibu lagi pulang kampung jadi terpaksa belanja kebutuhan sendiri. Orang rumah tak suka makanan beli di warung jadi ibu lebih baik masak," ucapnya panjang lebar.

Pembantuku Maduku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang