POV Azam
***
"Heh, kamu, jangan nangis. Aku benci mendengar suara bising. Pergi!"Suara Rima menggelegar disertai suara benda dari kaca yang jatuh di lantai.
Isak tangis anak kecil yang tertahan karena ketakutan kudengar pula dari kamar. Suara Aletha yang menangis di pojokan kamar.
Langkah kaki yang letih sehabis bekerja ini kubawa lari. Lorong rumah kulewati hanya dalam hitungan detik. Lalu dengan sekali dobrak kamar ini terbuka seketika.
Kepingan pecahan kaca berserak di mana-mana. Hancur tinggal serpihan kecil di lantai. Rima terlihat asyik dengan dunianya. Dia tersipu sendiri dan memainkan boneka Aletha. Dia seolah tak peduli dengan keadaan sekitar.
Tak dilihat anaknya yang duduk dengan gemetar ketakutan. Tak didengar suara tangis Aletha yang tertahan. Emosi Rismameledak seumpama bom Hiroshima dan Nagasaki hanya karena persoalan sepele. Sepertinya rebutan boneka dengan Aletha.
Sejurus kemudian dia menangis sesenggukan. Merangkul boneka yang tadi membuatnya bahagia. Langkah ini tertahan di ambang pintu. Hati ini sakit.
Nasi, lauk, sayur tercecer juga di sana. Sementara di sudut kamar terlihat si kecil terdiam tanpa kata. Pelipisnya mengucurkan darah segar.
"Astaghfirullah, Letha, kamu tak apa-apa, Nak?"
Segera kuhampiri tanpa peduli serpihan beling menusuk kaki dan membuat rembesan darah membasahi kaki ini. Entah berapa tusukan kaca yang menancap dalam alatku untuk berjalan ini.
Aku tak begitu merasakan perih. Karena lebih sakit luka dalam dada ini. Perempuan cantik yang membanggakan paripurnya penampilan, kini tak lebih dari seorang penyandang gangguan jiwa.
Rambut indah tergerai hanya tinggal kenangan. Kini rambut kusut dan acak-acakan. Bukan tak kusisir setiap hari, tapi dia mengacaknya lagi.
Kulit mulusnya berubah jadi kulit kusam penuh luka bernanah dan korengan. Maklum sering menyakiti diri dengan benda apapun disekitar.
Si kecil berhambur dan memeluk erat. Tangis yang sempat tertahan kembali pecah. Gadis mungil itu menangis sejadinya. Hatinya luka. Lebih luka dari yang ditampakkan.
"Mama jahat, Pah. Aku hanya mau menyuapinya makan dan meminta boneka, dia malah mengamuk dan melempar. Aku benci mama," ucapnya di sela tangisan.
Kupendamkan dia dalam dada. Kuelus pucuk kepala. Membiarkan tangisnya pecah. Supaya lega. Tak tega rasanya melihat gadis yang seharusnya ceria malah harus mengurus mamahnya yang hilang kewarasan. Apalah daya aku tak mampu menggaji karyawan untuk menjaganya. Menitipkannya selalu sungkan.
"Jangan begitu. Letha, kan, tahu kalau mama sakit. Gadis cantiknya papa harus sabar menjaga mama. Kalau mama sehat tak mungkin melakukan ini, ya, Sayang," bujukku pelan.
Kuseka darah kental yang masih merembes di keningnya.
Kuambil baju Rima yang tercecer di lantai. Segera kusapu serpihan beling. Mengumpulkannya dengan baju itu. Segera kubuang ke tong sampah.
"Nak, pergilah dulu ke luar kamar. Tunggu papa. Nanti papa susul. Papa harus membersihkan kamar mama dulu, ya, sayang."
Si kecil menurut dan berjalan pelan keluar kamar.
"Azam! Astaghfirullah, Aletha?"
Suara Husen sang tetangga rumah terdengar terkejut mendengar suara ribut datang secepatnya menghampiri.
Dirinya kaget bukan kepalang, di ambang pintu dia termangu saat berpapasan dengan Aletha yang berdarah dan melihat kekacauan yang dibuat oleh istriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembantuku Maduku
Teen FictionBerharap bahagia saat menikahi seorang perempuan rupawan nan mapan. Nyatanya Azam hanya merasakan hidup penuh tekanan. Satu hari bersua dengan seorang asisten rumah tangga yang tak rupawan namun berkepribadian menawan. Bagaimana kisah cinta rumit an...