Dua Belas

2.2K 75 1
                                    


POV Anida

***

Dada ini terasa diremas dengan keras. Mata ini terbuka lebar dan seolah hendak keluar. Apa tak salah penglihatan ini?

Salib tampak gagah menghiasai ruang tamu. Lukisan Yesus terlihat begitu artistik. Tak bisa kupahami seni lukis tapi aku tahu jika pelukisnya bukanlah orang sembarangan. Lukisan ini berharga fantastis.

'Mereka kristiani? Bagaimana begitu fasih mengucap kalimat Hamdallah bukan Fuji Tuhan?'

Kalimatullah sering terlontar dari bibir mungil nan sensual itu. Tak pernah terdengar sekalipun kalimat pujian bagi Tuhan-nya terlontar ketika dengan gagah menjadi aktivis kampus.

"Kaget lihat ini?"

Suaranya mengagetkanku. Dia berdiri tepat di samping kanan diri yang masih terkesima memandang salib di dinding.

"Saya seorang Nasrani. Sudah turunan, tapi saya bukan penganut agama yang baik makanya jangan heran kalau mendengar saya mengucapkan pujian Tuhan agama lain.  Islam juga keren. Saya rasa semua agama juga ok punya. Ya, 'kan?"

Ah, lelaki ini masih saja menebar pesona. Dia masih juga selalu mampu membuat debar tak menentu. Dia keturunan Korea Indonesia. Ayahnya adalah seorang berkebangsaan Korea Selatan, sedangkan ibunya orang Indonesia.

"Katanya kamu sedang mencari pekerjaan, sudah dapat?"

"Belum, Kak, masih mencari," jawabku menunduk.

Aku tak berani menatap wajahnya hanya mampu melihat pantulan bayangan di ubin marmer yang tampak begitu mengkilat.

"Hmm .... Mau kerja sama saya? Kebetulan saya punya butik pakaian muslim dan nggak ada yang bisa memegang. Baru lounching jadi butuh banyak karyawan," tawarnya.

Aku kian terpana. Orang ini apa benar non-muslim? Mengapa segala sesuatunya tak bisa lepas dari label Islam. Bahkan membuka usaha pun.

"Heran?"

Aku hanya mengangguk pelan. Sungkan menjawab takut menyinggungnya.

"Apakah tak boleh non-muslim menjual peralatan peribadatan atau menjual pakaian muslim? Saya pengen tahu soalnya saya menjual peralatan shalat dan umroh juga di butik ini?"

Lelaki yang mampu membuatku selalu terpaku ini menatap tajam raga yang kian tertunduk dan terhujam ke lantai tak mampu bergerak.

"Tak ada larangan bermuamalah dengan seseorang yang berbeda keyakinan. Anda juga tak dilarang menjual barang yang bercirikan Islam. Jika kami tak boleh melakukannya. Kami tak boleh menjual dupa, Rosario, salib, atau Injil.

Jika untukmu hanya menyangkut jual beli, persoalan untung dan rugi, tapi bagi kami setiap langkah kaki adalah ibadah.

Perniagaan juga salah satu bentuk ibadah kami. Maka jangan heran kami tetap menetapkan syariat pada setiap prosesnya. Darimana? Bagaimana? Caranya? Semuanya tak luput dari perhitungan."

"Wah keren, ya. Kalau begitu kamu memang harus bekerja pada saya. Saya tak punya tuh pegawai yang berbasic pemahaman agama Islam yang mumpuni seperti kamu. Mereka hanya mencari rupiah tanpa menggunakan syariat yang benar. Kamu mau kan?"

Gerald menunduk mendekatkan wajahnya padaku yang hanya mampu menatap ubin yang mengkilat tanpa mampu menatap wajah yang pernah begitu kurindukan.

Melihat kondisiku yang kian terpojok, lelaki itu kian senang menggoda. Dia malah memutari raga yang terkesima beberapa kali malah mencoba mengintip wajah yang coba kusembunyikan.

Ah, lelaki ini kian membuat diri ini merasa tak tentu rasa. Sebenarnya aku butuh pekerjaan. Namun, aku tak sanggup jika harus terus berdekatan dengannya. Aku tak yakin bisa menyembunyikan rasa. Terlebih aku kini sudah menikah. Tak boleh rasa ini singgah aku harus membuang semua.

Pembantuku Maduku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang