POV Azam.Dret ... dret ... dret ....
Suara getaran dari ponsel yang sengaja kusenyapkan mengganggu konsentrasi saat mengemudi kereta besi yang membelah keramaian kota Jakarta.
"Ya, hallo .... Saya sendiri. Apa?!"
Pedal rem kuinjak seketika. Derit suaranya memekakkan telinga. Aletha yang terlelap terjaga.
"Papa ... Letha takut," gumamnya sembari memeluk erat tanganku yang gemetar.
"Maafkan papa, Nak," ujarku seraya mendekap raga mungilnya menenangkan.
Berita yang baru kudapat membuatku seketika kehilangan kesadaran sesaat. Aku merasa masuk ke alam mimpi saking tak percaya pada yang terjadi.
Segera kuputar kemudi menuju rumah duka setelah menenangkan Aletha.
***
"Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un," gumamku pelan.
Selembar bendera kuning melambai menyambut kedatangan kami di pintu gerbang rumah yang terbuka lebar menyambut tamu yang tak henti datang melayat.
Aletha terbengong melihat banyaknya orang dengan pakaian serba hitam masuk ke rumah Opanya.
"Tuan Azam, syukurlah anda segera datang. Anda menjadi wakil keluarga untuk pemulasaraan jenazah. Nyonya Rima sedang dalam perjalanan ke mari," sambut Pak Ardi. Orang kepercayaan di kantor mertua.
Tanpa diminta lelaki berbadan tegap itu menceritakan kejadian yang menimpa ayah mertuaku.
Sudah beberapa bulan ini, saham perusahaan menukik tajam. Jatuh. Hal itu imbas dari sejumlah direksi yang berkoalisi untuk korupsi.
Papa Rima yang mengetahui keadaan perusahaan terpuruk mengajukan pinjaman ke Bank. Hasilnya untuk menutupi keuangan yang minus.
Tak dinyana bukan untung malah buntung. Segala usahanya sia-sia. Perusahaan diambang kehancuran.
Aku memang sudah resign dari perusahaan keluarga Rima sejak hampir setahun ini. Hingga setiap peristiwa terbaru aku sudah tak tahu lagi. Apa dan bagaimana sudah tak lagi jadi urusanku.
Kehadiran Nida menyadarkan diri untuk mandiri. Entah mengapa menjadi merasa malu saat selalu dalam ketiak mertua dan berada dalam bayangannya.
Keputusanku ini menjadi bahan tertawaan Rima, istriku. Dia merutuki kebodohan diri yang melepas gaji dan pangkat sebagai direktur utama salah satu anak perusahaan bonavid negeri dan malah membuka firma sendiri.
Aku memilih merintis usaha dari uang gaji yang kukumpulkan selama ini. Ada bagusnya juga Rima menolak uang receh atas gajiku dan memilih uang pemberian sang ayah sebagai jatah bulananan.
Dengan uang gajiku itu, kubeli petakan tanah dan juga rumah yang kini kami tempati.
Rima yang mengomel harus tinggal di rumah kecil menurut ukurannya akhirnya bungkam ketika kuancam akan diceraikan. Rela tak rela dia lebih memilih rumah ini daripada apartemen mewahnya. Demi cinta. Walaupun tak menetap tapi sesekali mau menginap.
Segala urusan kantor tak lagi jadi pengawasanku sejak saat itu. Para anggota direksi yang tamak mengambil kesempatan untuk memperkaya diri dengan cara korupsi dan untuk menutupi keuangan yang bobrok, Papa Rima akhirmya berhutang sana-sini, namun bukan jadi solusi malah berujung kehilangan harta.
Karena syok barang berharganya disita, Papa koleps dan terkena serangan jantung hingga nyawanya tak terselamatkan.
***
Upacara pemakaman telah siap. Jenazah telah rapi dimandikan dan dibungkus kain kapan, masih tersisa wajah yang belum ditutup sempurna karena menanti putri semata wayangnya yang belum juga tiba. Rima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembantuku Maduku
Teen FictionBerharap bahagia saat menikahi seorang perempuan rupawan nan mapan. Nyatanya Azam hanya merasakan hidup penuh tekanan. Satu hari bersua dengan seorang asisten rumah tangga yang tak rupawan namun berkepribadian menawan. Bagaimana kisah cinta rumit an...