Lima Belas

234 16 3
                                    


POV Rima

***

Lelah rasanya. Kaki sudah bernanah dan berdarah karena letih melangkah tiada sudah.

Aku di mana?

Lorong yang kulewati pekat tanpa cahaya. Sering kujatuh tersandung kaki sendiri. Tak ada suara apapun kudengar. Hanya suara napasku yang tersengal.

Suara pikiran yang meracau mencari setitik cahaya dalam gulita. Aku tak buta hanya saja semua yang kulihat hanya hitam.

Tak ada papa menyapa. Tiada Azam dan Aletha yang memanggil nama. Tak jua suara panggilan sahabat dan handai taulan yang mengiringi langkah terseok ini.

Aku sendiri. Benar sendiri. Sepi ....

"Apakah mungkin bisa selamat. Sayatan pisau di nadi ini sangat dalam. Darah juga sangat kurang. Saya lengah, Dok! Entah darimana pasien ini bisa mendapatkan senjata untuk menyakiti dirinya."

Suara penyesalan seorang perempuan paruh baya kudengar lamat. Ada isak tertahan. Ketakutan. Dengan gemetar dia berkata bercampur kekhawatiran yang dalam.

"Jangan menyalahkan diri, Sus. Berdoa saja yang terbaik bagi pasien ini. Keluarga pasien sudah dikabari soal keadaan pasien terkini?"

Suara lelaki yang masih cukup muda terdengar bertanya.

"Sudah, Dok. Mungkin dalam perjalanan. Suami pasien tengah di luar kota. Tapi akan segara tiba. Dia meluncur ke sini setelah dikabari."

"Hmm .... Alhamdulillah. Pasien sudah stabil meski belum sadarkan diri. Tolong awasi dengan intens, ya, Sus! Laporkan perkembangannya setiap satu jam sekali. Saya ada operasi. Tapi akan saya pantau meski dari kamar operasi."

"Baik, Dok! Terima kasih atas waktunya. Semoga ibu muda ini bisa bertahan," harap suster yang merasa cemas dan bersalah.

Ingin kuteriak. "Dokter! Suster! Tolong ambilkan pelita. Jangan tinggalkan aku sendiri dalam gelap ini. Aku ingin keluar. Tolong bantu aku!"

Mungkin paramedis itu tuli. Bukannya datang menghampiri. Mereka terdengar menjauh pergi. Pelan tapi pasti kudengar langkah kaki meninggalkan diri ini sendiri.

Aku hanya menjerit tanpa suara. Air mata menetes meratapi nasib yang sebatang kara. Aku harus bagaimana?

***

POV Azam

*

Lututku masih terasa lemas akibat berita menghilangnya Anida. Kini kian tak bertenaga ketika datang kabar jika Rima berusaha mengakhiri hidupnya dengan mengiris urat nadi dan dalam keadaan koma.

Tuhan .... Cobaan apalagi ini. Rasanya aku tak sanggup lagi. Beban dalam dada ini seolah tiada sudah. Hingga aku hampir tak sanggup lagi melangkah.

Apakah aku harus kehilangan kedua istriku?

"Papa! Kapan kita mau jalan! Hari sudah gelap. Letha takut jika kita berhenti di hutan. Nanti ada halimau," rengekan Aletha menyadarkan diri ini.

Terdengar Aletha menangis dengan kencang dan gemetar ketakutan saat menengok ke sekitar yang gulita tiada pelita. Rupanya hari sudah beranjak malam.

Aku memang menghentikan laju kereta besi saat memasuki perhutani yang menjadi penghubung jalan masuk ke desa Anida berada.

Lama sekali termenung setelah mendengar kabar mengejutkan. Tak mampu berbuat apa-apa. Pikiranku kosong. Aletha yang sedari tadi tertidur pulas sehabis menangis menanyakan ibu tirinya rupanya terjaga dan ketakutan karena pekatnya malam dan suara binatang khas malam yang terdengar.

Pembantuku Maduku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang