Sore~ vote dulu, yuk!
Komennya juga ❤"Apa... Momen paling memalukan dalam hidupmu?"
- Candy
Candy mengakui, ruang UKS SMA Bintang Karya Insani adalah tempat terbaik di sekolah ini, tempat sempurna untuk meloloskan diri dari berondongan pelajaran dan tidur, atau menyelinapkan komik. Apapun selain belajar. Tetapi, tentu saja, semua murid akan punya pemikiran yang sama dan karenanya, untuk bisa memasuki UKS ini, prosesnya cukup berbelit.
Ia harus setengah mati meminta izin pada guru kelas, dengan akting terbaik dan wajah paling memelas yang dapat ditampilkan. Belum lagi, perawat UKS yang muka judesnya lebih cocok jadi sipir penjara. Benar-benar pengorbanan besar untuk sampai di sini. Beruntungnya, perawat tersebut barusan menerima panggilan telepon, lalu bergegas pergi dari ruangan, meninggalkan Candy di dalam, sendirian. Dan mengingat apa yang akan ia lakukan, itu adalah hal yang bagus.
Sekarang, jemarinya merapikan kembali amplop yang dalam beberapa menit terakhir sudah kelewat sering dielus. Hal ini Candy lakukan untuk mengisi jeda kosong yang tercipta, guna meredakan detak jantung yang semakin lama, semakin berdegup kencang. Waktunya semakin dekat. Siap atau tidak siap, dia akan datang.
Dan dalam kesunyian yang hanya diisi detak jarum pada jam dinding di ruangan, sepasang langkah kaki terdengar sayup-sayup mendekat. Lalu, pintu terbuka. Langkah-langkah kaki itu pun dilanjutkan. Pelan. Langkah yang tidak tegas, tidak juga teratur. Namun dari jarak antara satu tapakan kaki dengan yang lainnya, dari ketenangan yang tidak diuraikan oleh cekikikan, perasaannya mengatakan ... orang yang barusan masuk bukanlah sang perawat, bukan pula murid perempuan. Langkahnya terdengar seperti langkah murid laki-laki.
Candy meneguk ludah di balik tirai putih yang membentang di depannya, dinding yang membatasi antara satu tempat tidur dengan yang lainnya, dinding yang juga menyembunyikannya di salah satu sudut.
Langkah itu berhenti tepat di depannya. Candy menunduk, memandangi sepasang sepatu. Ya, sepasang sepatu cowok. Jadi, sekali lagi ia harus meneguk ludah. Sekaranglah saatnya!
◄ NAVY ►
"Sekali putaran. Setengah putaran. Bersihkan sel kulit mati dan kotoran. Laluuu─"
"Psst! Buruan anjir!"
Gamitan Deera di lengan Selin membuat cewek itu kembali pada fokusnya. Ia mengaduk bubuk obat yang tadi ia campurkan ke minuman jeruk dalam botol dengan sedotan beberapa kali lagi, sesekali sambil menengok ke sekitar, memastikan tidak ada saksi mata atas perbuatan mereka.
"Lo yakin ini aman, kan?" tanya Deera lagi.
"Kayaknya," Selin meringis. "Antihistamin dalam obat ini kayaknya cukup bikin dia super ngantuk dan bakal izin ke UKS."
Deera ikut meringis. Iya, sih, Selin itu pintar di kelas. Tetapi jawabannya sangat-sangat tidak meyakinkan. "Dia nggak bakal keracunan, kan?"
"Itu ... semoga aja, nggak. Gue udah baca basmalah tadi."
Deera menggigit bibir. Tetapi keberisikan dari anak-anak yang sepertinya akan kembali ke kelas usai jam pelajaran olahraga membuat keduanya cepat-cepat menutup kembali botol dan berdiri tegak. Deera tidak lupa melekatkan kertas note kecil pada botol minuman itu sebelum bergegas keluar kelas XI IPA 1. Mereka keluar tepat waktu. Jika tidak ... habislah. Karena segera setelahnya, satu persatu murid berdatangan, masuk ke kelas. Termasuk di antaranya adalah Aksal.
Selin dan Deera yang bersembunyi di balik tembok berbagi pandang.
Saatnya memastikan Aksal meminumnya.
Bel istirahat berdentang tidak lama kemudian. Aksal terhenti sebentar di mejanya. Ada sebuah botol minuman jeruk yang tidak pernah ia beli bertengger di sana. Di botol itu, tertempel pula sebuah catatan kecil.
Untuk Kak Aksal. Pasti haus, deh. Semangat!
Aksal bukan orang yang biasanya menerima pemberian orang lain, terutama ketika orang itu berlindung di balik topeng anonimus tanpa memeperlihatkan diri. Tetapi siang itu cuaca sedang panas dan ia habis berolahraga. Jadi, tanpa banyak berpikir, Aksal membuka tutup botol dan menaikkannya untuk diminum.
Detik yang sama, seseorang menginterupsi.
"Pangeran~ Babe?" Cengiran Navy menatapnya dari pintu kelas, membuat Aksal mengurungkan niat. Ia tidak bisa minum dengan tenang jika Navy di sekitar, memanggilnya dengan nada demikian. Cowok itu pasti menuntut sesuatu. Dan jika Navy sudah menuntut, maka ia wajib diutamakan, kalau tidak harga dirinya akan tergores.
"Apa?" tanya Aksal tidak sabaran.
Navy berjalan mendekat. "Lo entar sore nggak sibuk, kan? Nggak rapat OSIS lagi kan? Nggak lembur kayak bapak-bapak yang menafkahi empat istri dan dua belas anak, kan?"
Pertanyaan-pertanyaan itu diluncurkan Navy bertubi-tubi tanpa memberi Aksal kesempatan menjawab. Dan, alih-alih menjawab, Aksal justru membalikkan pertanyaan.
"Kenapa emang?"
"Cuma mau ngingetin, jangan lupa nanti jam 7 di Six in Sundays."
"Iya, udah set reminder, kok."
Navy mengangguk. "Oke. Jangan kayak Nino kemaren. Bikin kita kelimpungan, tahunya sibuk nge-mall sama anak kelas sepuluh."
Aksal mendengkus pelan di balik senyum tipisnya. Satu sekolah, hampir tidak ada yang tidak tahu kelakuan Nino yang hobi menggombal. Tetapi anehnya, meskipun tahu, mereka mau-mau saja diajak jalan, dibuat baper, lalu dicampakkan. Navy sering bertanya-tanya susuk apa yang cowok itu pakai, yang tentu saja akan berakhir dengan ledekan Nino tentang Navy yang belum pernah pacaran. Dua temannya itu ... jika bersama memang seperti anjing dan kucing, tidak akur.
Navy melirik minuman di tangan Aksal, lantas dengan cepat menariknya. "Bagi dong! Haus gue abis ngomelin si Don Juan KW," ujarnya, lantas menenggak teguk demi teguk minuman jeruk Aksal hingga habis setengahnya, sebelum dikembalikan.
Sesaat, Navy memeriksa catatan yang tertempel. "Dari penggemar ya?"
Aksal menggeleng, menolak meraih botol yang Navy sodorkan. "Abisin aja."
Sementara, di bawah jendela XI IPA, dua orang berwajah mendadak pucat saling berbagi pandangan syok.
◄ NAVY ►
Langkah-langkah yang berjalan mendekat.
Candy menahan napas. Akhirnya.
"Kak..."
Setelah mengumpulkan segenap keberanian, ia akhirnya angkat bicara, dengan suara yang sedikit gemetar karena rasa gugup. Candy bahkan dapat merasakan ujung-ujung jemarinya mendingin meremas surat.
"Aku tahu Kakak mungkin nggak inget sama aku. Tapi ... aku inget sama Kakak. Inget banget, waktu Kakak nolongin pas aku MOS dulu. Kakak baik banget. Sebenarnya, Kakak adalah malaikat aku..."
Hening. Candy bahkan dapat merasakan dirinya sendiri lupa cara menarik napas. Ia masih menatap sepasang sepatu di depannya. Mereka terpisahkan tirai. Dan karena terpisahkan tirai itulah, akhirnya ia punya keberanian ini. Candy tidak ingin membuka tirainya, ia tidak ingin menatap Aksal sebelum semuanya tersampai, atau lagi-lagi ia akan meleleh hanya dengan menatap wajah tampannya dan seluruh kata buyar.
Jadi, ia menguatkan diri. Sedikit lagi.
Candy, dengan gemetar, berdiri tepat di depan sepasang sepatu itu, di depan Aksal dengan tirai putih di antara mereka. Ia meletakkan tangannya yang dingin itu pada sisi tirai. Dalam hitungan ketiga, tekadnya dalam hati.
Tiga...
Dua...
Satu!
Ia menarik tirai, menunduk dan menyerahkan suratnya dengan kedua tangan tanpa berani mendongak.
"Aku tahu ini lancang, tapi Kakak mau nggak, jadi pacarku?!"
◄ To Be Continued ►
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella Effect [Completed]
Teen Fiction𝚃𝚑𝚎 𝙴𝚏𝚏𝚎𝚌𝚝 𝚂𝚎𝚛𝚒𝚎𝚜 #1 "Mulai sekarang, lo gue angkat jadi babu." Candy pikir, dia bisa menjadi Candyrella dan hidup bahagia bersama Pangeran crushnya. Sial, dia malah bertemu Navy yang kejamnya melebihi ibu tiri! Navian Adraha, gitaris...