5. Ditampar?

811 106 42
                                    

"Ketika mulut sudah tak sanggup bicara, maka batinlah yang menjerit. Namun, sampai kapan?"
Ardelia Khanaya
-Aya

🍂🍂🍂

"APA YANG SEDANG KAMU LAKUKAN, AYA?! HA?!" bentak papa Aya tepat di wajah putrinya itu. Aya hanya bisa memejamkan mata sambil merapalkan doa.

"KALAU DI TANYA ITU JAWAB! TIDAK PUNYA MULUT?!" Aya terus saja menunduk. "HEH!" papa Aya menarik rambut Aya dalam satu sentakan, yang membuat Aya meringis seketika.

Aya yakin, pasti papanya sedang dalam mood yang tidak bagus. "JAWAB! MAU GAK PUNYA MULUT?!"

Aya memejamkan matanya, "A-Aya-"dirinya tak tahu harus menjawab apa.

"Apa, Ha?!" Papa Aya semakin menarik rambut Aya, membuat gadis itu mengadahkan kepalanya.

"Sa-sakit, Pa," lirih Aya.

"Sakit?! Ini memang pantes untuk Anak yang tidak sopan!" bentaknya kembali. "Kamu pasti nyari sesuatu, 'kan?!" Aya menggeleng secara perlahan.

Sungguh, tarikan itu sangat sakit, Aya merasa pusing sekarang. "Cepat mengaku!"

"Aya gak ngapa-ngapain, Pa," ucapnya memberanikan diri.

"Lalu, untuk apa kamu di kamar Papa?!"

"Ya Tuhan, Aya harus jawab apa? Aya takut," batin Aya.

"HEH!" Papa Aya semakin menarik rambut putrinya itu.

"Pa, tolong lepas, Aya kesakitan." Aya memejamkan mata. Ia tak mau papanya mengetahui bahwa sekarang ia sedang menampung air mata.

"Lemah! Jawab!" sentak papa Aya.

"Aya gak ngapa-ngapain, Pa. Aya cuma masuk aja, memangnya gak boleh?" Aya menatap papanya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Jelas gak boleh!"

"Ke-kenapa, Pa? A-Aya 'kan juga gak mencari apa-apa," jelas Aya memberanikan diri.

"Kamu ini! Dari dulu selalu gak punya sopan santun! Keturunan Mama Kamu, ya? Murah?!" Aya membulatkan matanya sempurna.

"Papa ngomong apa?" tanya Aya gemetar.

"Murah!"

Aya tertawa sumbang. "Murah, ya? Tapi kok Papa mau menikahi Mama? Apa selera Papa yang murah?"

Plak!

"Berani kamu bicara seperti itu?! SIAPA YANG MENGAJARKAN?!" Satu tamparan mendarat di pipi Aya.

Oh, Ya Tuhan. Jika laki-laki yang terjebak BrokenHome dia bisa melampiaskanya kemana saja. Sedangkan perempuan? Harus berpikir beribu-ribu kali demi menjaga harga dirinya.

Aya memegangi pipinya yang terasa panas. Tamparan itu terpampang jelas, terjiplak di wajah Aya.

Sudah, Aya sudah tak sanggup untuk menahan tangis ini. "KENAPA, PA?! KALIAN YANG MENGAJARKAN AYA BERBICARA KASAR SEPERTI INI! KALIAN!" Napas Aya tidak beraturan sekarang. "Pernah tidak sedari kecil kalian berbicara baik-baik?! Pernah tidak?!" Kepala Aya mendadak pusing sekarang.

"Seharusnya Papa bisa nyegah Mama! Bukan membiarkannya pergi! Papa jangan egois! Jangan mementingkan perasaan Papa sendiri!" lanjut Aya berapi-api. "Papa pentingin juga perasaan kami, bisa?" lirih Aya.

"Oh, jangan perasaan kami, tapi perasaanya Aurel. Aya 'kan selalu dianggap tidak ada." Aya tertawa hambar. "Gak penting juga sih, harus dianggap oleh kalian," lanjut Aya.

JERITAN BATIN [TELAH TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang