Arjuna terkejut, "Itu, 'kan, Bokapnya Akbar, bukan?"
"Om tau 'kan? kalau Mama saya itu punya anak, dua lagi. Apa Om tega?" tanya Aya menatap wajah pria itu.
Pria tersebut terkekeh. "Saya? Tega? Jelas saya tega. 'Kan kalian bukan anak saya. Oh iya, mungkin sebentar lagi kalian akan menjadi anak saya, jadi yang sopan ya, sama saya," ujarnya sambil tersenyum sinis.
"Saya? Harus sopan sama laki-laki yang tak punya hati, yang telah merusak keluarga saya, apa harus saya sopan'kan? Ingat, saya gak akan mau jadi anak anda!" ujar Aya tak kalah sinis.
"Alisya, apa ini anak yang kau kata tidak punya sopan santun itu? Yang selalu dikatakan sial oleh mantan suami mu?"
"Eh! Om! Mama sama Papa saya belum resmi bercerai, ya! Jangan asal ngomong, pengrusak!" teriak Aya tak mempedulikan orang-orang di sekitarnya yang sedang meng-vidiokan mereka semua.
"Aya! Kamu punya sopan santun dong, sama yang lebih tua!" bentak mamanya.
"Iya, tua. Bangkotan. Mama 'kan masih muda, kok mau sih nikah sama yang udah mau rapuh ini?" tanya Aya menatap mamanya. Jangan salahkan jika emosinya sudah tidak stabil sekarang.
"Aya!" bentak mamanya kembali.
Aya memutar bola mata, tak ada lagi butiran di matanya, yang ada hanyalah kebencian yang sangat mendalam. "Woi, Om! Dengerin gue baik-baik, tolong lo jangan bawa Mama gue pergi, dia udah punya suami dan anak! Gue yakin, lo pasti juga punya anak 'kan? Apa lo gak kasian sama anak lo?" tanya Aya dengan dagu terangkat.
"Aya! Kamu itu memang gak punya sopan santun, ya? Siapa yang mendidik kamu seperti itu-"
"Gak ada," sela Aya. "Emang Mama pernah mendidik Aya sedari kecil? Pernah gak?!" Dada Aya kembali sesak. "Jadi jangan salahkan jika pribadi Aya seperti ini!"
Mama Aya sudah tampak marah kali ini, "Anak pembawa sial! Gak punya sopan santun! Mama nyesel udah ngelahirin kamu!" Tangan mama Aya pun melayang hendak menampar putrinya itu.
Aya memejamkan mata.
Hap.
"Tolong Tante, jangan main kekerasan, apalagi sama anak sendiri." Arjuna menghempas tangan wanita itu.
"Juna?" Arjuna menoleh. Menatap pria tersebut.
"Iya, Om. Saya Juna." Arjuna tersenyum. "Om gak kasian sama putra Om?" Pria tersebut langsung gelagapan.
"Saya aja yang bukan anak Om, merasa sakit hati. Apalagi anak Om?"
"Kamu gak usah sok tau, Juna. Anak saya udah tau."
Aya hanya bisa menyaksikan dengan bingung.
Perhatian, diharapkan kepada penumpang pesawat, untuk segera mengisi kursi yang telah disediakan. 15 menit lagi pesawat akan lepas landas.
"Ayo, sayang." Mama Aya memeluk tangan pria itu. Laki-laki itu tersenyum. Mereka pun mulai menarik kopernya.
"Ma, Aurel mohon, Ma. Aurel mohon!" Aurel terus menarik tangan mamanya itu sambil menangis. Aya sudah menangis dari tadi. Tidak rela mamanya pergi.
"Sayang, Mama harus pergi."
"Kamu mau ikut sama Om, sayang?" tanya pria tersebut kepada Aurel. Gadis itu langsung melihat kakaknya, seketika dirinya mengingat papanya. Di mana papanya rela sampai tidak tidur malam hanya untuk dirinya bisa bersekolah dengan benar dan hanya untuk sesuap nasi.
Aurel menggeleng, "Saya sangat sayang dengan Papa saya, pengrusak!" ucap Aurel dengan tajam.
"Aurel!" bentak mamanya. "Aya, sudah pintar ya, kamu mengajari adik kamu berucap kasar sepertimu?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
JERITAN BATIN [TELAH TERBIT] ✔
JugendliteraturSemua orang hanya bisa mendengarkan, bukan bantu menyelesaikan. Lantas, untuk apa bercerita kepada dirimu? -Ardelia Khanaya Dengan bercerita, luapan emosi keluar sudah. Batin yang selalu disiksa olehmu hanya butuh didengarkan, dengan siapa pun dan...