"Ketika batin sudah tak mampu, maka Air Matalah yang menjawab"
Ardelia khanaya
-Aya"Kak Aya! Aurel pamit, ya? Aurel mau pergi! Jaga Papa untuk Aurel, ya? Aurel sayang banget sama Papa," ucap Aurel pada Aya yang terperangah.
"Aurel mau ke mana?!" teriak Aya.
"Aurel mau pergi, Kak. Aurel udah gak bisa. Di sini, Aurel sakit, Kak. Aurel selalu teringat Mama. Dengan Aurel pergi, Aurel gak akan tersiksa, Kak," ucap Aurel yang semakin menjauh.
"Jangan, Rel! Jangan tinggalin, Kakak! Kakak gak ada temen, Rel!" teriak Aya yang berusaha mendekati Aurel.
"Kakak jangan ikutin Aurel! Kakak harus tetap berjuang! Kakak harus buktiin ke Mama dan Papa, kalau Kakak juga bisa jadi anak emas mereka!" teriak Aurel sambil terus menjauh.
Aya ketakutan, "Rel, jangan tinggalin, Kakak!" Aya menjambaki rambutnya sendiri, ia frustasi. "Jangan tinggalin Kakak, Rel! Jangan!" Aya berteriak memanggil.
"AUREL!" Aya membuka matanya. Yang pertama ia lihat adalah langit-langit kamarnya. Dadanya bergemuruh dengan cepat, keringat membanjiri wajahnya.
Ia memegangi dadanya, "Apa tadi cuma mimpi?" Ia pun mengusap wajahnya. "Aurel?" Seakan teringat dengan Aurel, ia pun langsung keluar kamar dan berlari ke kamar Aurel.
Ceklek
"Rel?" Kamar Aurel kosong. Di mana adiknya itu? Padahal sekarang sudah jam 01.00 pagi. "Rel? kamu di mana?!" Aya berteriak sambil memasuki kamar Aurel.
Ia pun mulai mencari adiknya itu di mana-mana, tapi tidak ketemu juga.
"Aurel! Ini Kakak! Kamu di mana?!" Aya berteriak kembali.
"Hiks, hiks."
Aya seperti mendengar ada suara orang menangis. "Aurel?" Ia pun mulai mendekati bawah ranjang. Karena ia yakin suaranya berasal dari sana.
"AUREL!" pekik Aya terkejut karena melihat adiknya dalam keadaan mengenaskan. Rambut yang berantakan, air mata yang terus mengalir, darah yang keluar banyak dari lengannya, serta ada silet yang berada dalam genggamannya.
"Ayo, Rel. Keluar." Aya menarik tangan adiknya itu agar keluar dari sana. Mata Aya memanas melihat adiknya dalam keadaan seperti ini. Ia berusaha untuk tidak menangis, tapi sulit.
"Aurel!" Ia pun memeluk adiknya erat. "Kamu jangan lakuin ini, Rel. Kakak sakit, Rel, liat kamu begini."
"Aurel mau mati aja, kak! Aurel mau mati!" isak Aurel.
"Kamu jangan kagak gini, Rel," lirih Aya.
"Ta-tapi Aurel udah gak sanggup, kak! Gak sanggup!" tangis Aurel semakin menjadi.
"Kamu sanggup, Rel! Sanggup! Kamu jangan lemah seperti ini! Kalau Kamu lemah, Kakak ikut lemah, Rel!" Aya mulai terisak.
"Tapi Aurel bener-bener gak bisa, Kak! Aurel setiap hari selalu teringat Mama! Hari-hari Aurel selalu diisi dengan kehadiran Mama! Mama selalu ada untuk Aurel, Aurel udah gak mau hidup lagi, kak!" Ia pun mulai mengarahkan silet kepergelangan tangannya.
Aya pun mencegah, "Rel, denger, Kakak. Kamu itu Anak emas keluarga ini, Rel! Buktiin ke Mama, kalau kita bisa menjalani hidup ini, tanpa Mama. Kamu paham?"
Aurel menggeleng, "Apa yang disebut keluarga, Kak? APA?!" bentak Aurel.
Aya meringis, "Rel, Kamu itu alasan Kakak untuk hidup. Kalau kamu seperti ini, Kakak jadi ingin mati, Rel!"
Aurel menangis, "Aurel bener-bener gak bisa, Kak! Aurel selalu melihat bayang-bayang Mama di sini, tapi seketika hilang, Aurel pusing, Kak! Aurel setres!" bentak Aurel. Ia pun mulai mengambil ancang-ancang untuk menyilet tangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
JERITAN BATIN [TELAH TERBIT] ✔
Novela JuvenilSemua orang hanya bisa mendengarkan, bukan bantu menyelesaikan. Lantas, untuk apa bercerita kepada dirimu? -Ardelia Khanaya Dengan bercerita, luapan emosi keluar sudah. Batin yang selalu disiksa olehmu hanya butuh didengarkan, dengan siapa pun dan...