51. Trauma Batin

6 1 1
                                    

Franklin kembali dengan kertas di tangan ke ruangan Dinda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Franklin kembali dengan kertas di tangan ke ruangan Dinda. Di mana, Leo, Xin, dan dua lainnya duduk di kursi tunggu depan ruangan. Di perjalanan, lelaki berambut coklat itu merenungi saran dari psikolog tua itu. Sepertinya manjur-jika ia yang menderita gangguan mental, akan tetapi apakah Dinda bisa berubah dengan sarannya.

Saran dari psikolog itu adalah memberinya perhatian yangselama ini belum pernah mereka keluarkan. Namun, psikolog itu juga memaparkan kalau mereka kemungkinan akan menderita karena melakukan itu.

Bak peramal, ia bilang kalau Dinda hanya akan diam. Franklin tak tahu diam karena apa maksudnya, tetapi ia menyuruh mereka untuk sabar.

Sesampainya di depan ruangan, Leo berdiri dan
menghampirinya. Lelaki itu merebut kertas dari tangannya saat tahu itu adalah kertas dari psikolog Dinda dan membacanya dengan mata bergerak dari kanan ke kiri dengan cepat.

"Trauma batin?" la mengernyitkan kening, lalu menoleh kepada Franklin.

Franklin membuang napas. "Ceritanya panjang. Nanti aku beritahu," sahutnya.

"Jadi, sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Xin, tanpa memindahkan pandangan matanya dari kertas.

"Psikolog itu bilang kita harus memberinya perhatian. Seperti mengingatkannya untuk makan obat, menyuapinya bubur, dan yang lain." Franklin menatap ke atas, berusaha menimbang-nimbang perhatian apakah yang harus mereka lakukan untuk Dinda.

"Tapi, bagaimana kita melakukannya? Dinda masih dipasangi masker napas dan hanya cairan infus yang dapat masuk ke tubuhnya," tanya Kimberly, disambut anggukan Zack yang memiliki pertanyaan sama.

Franklin tersadar. la menepuk jidatnya.

"Menurut kalian?" Lelaki itu pun meminta pendapat.

"Tadi kata dokter,jika pernapasan Dinda sudah baikan, mereka akan mencoba mengganti masker napasnya itu dengan selang kecil-selang apakah namanya itu-yang dimasukkan ke dalam hidungnya," sahut Leo, "Mungkin mereka akan melakukan esok atau lusa."

"Ah, maksudmu kita bisa memberinya makan jika dia sudah dipasangi itu?" tanya Kimberly. Leo mengangguk.

"Tapi, apakah Dinda kuat menahan lapar dengan cairan infus?" tanya Franklin.

"Dia kuat." Kimberly menoleh ke dalam ruangan,
memerhatikan Dinda yang terbaring dengan mata
tertutup-tidur.

"Kau yakin?" Franklin menyipitkan matanya.

"Ayolah, Frank!" Kimberly melipat tangannya. "Apa kau punya solusi cara memberi makan seseorang dengam masker napas di wajahnya? Apa kau bisa meminta izin untuk membuka masker dan menyuapkan bubur ke dalam mulutnya?"

Franklin terdiam, tetapi Xin menyahut. "Jika kau ingin memberi makan Dinda, kau harus meminta rumah sakit untuk melubangi lehernya dan memasukan pipa dari sana ke lambung"

UndercoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang