44. Mati Rasa

5 1 2
                                    

Dinda mengerang pelan setelah menatap mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dinda mengerang pelan setelah menatap mereka. Ia baru menyadari sebuah selang kecil menempel di wajahnya-di bawah lubang hidungnya, membuatnya menatap ketiga orang yang masih berusaha dikenalnya itu menjawab pertanyaannya yang terlempar lewat mata.

Iris gelapnya bergerak ke sana-sini dengan pelan. Ia kembali berusaha mengenali ruangan putih yang didominasi warna biru yang senada dengan warna kasur dan selimutnya.

"Bagaimana perasaanmu?" Suara familier bergema kecil di telinga Dinda. Gadis itu menoleh kepada tiga orang tadi, perlahan dapat mengenali salah satu di antara mereka setelah amnesia beberapa saat.

"X-Xin." Dinda mendesis setelah itu, berusaha bangkit untuk mengingat apa yang telah terjadi.

"Istirahatlah. Kau baru sadar dari obat biusmu," suruh Xin, mengelus kedua bahu Dinda dan membaringkannya perlahan.

"Kepalaku ...." Dinda meringis merasakan kepalanya terasa ditusuk-tusuk akibat dirinya yang ingin duduk.

"Sudah. Berbaring saja ya," suruh Xin lagi.

Dinda mengangguk pada akhirnya. Ia pun menutup mata dan menggerakkan anggota badannya yang telah menjadi kaku beberapa jam.

Dinda seketika membuka mata karena tidak merasakan jari kaki kirinya bergerak padahal digerakkannya. Wajahnya yang mulai berubah membuat Xin, Leo, dan Zack saling pandang.

Dinda yakin kaki kirinya mati rasa akibat kesemutan. Namun, kaki kanannya yang semulanya merasakan hal yang sama kini bisa digerakkannya. Saat Dinda ingin menggerakkan kaki kirinya pula rasa nyeri menjalar dari betis terasa.

"K-Kaki. Kaki kiriku k-kenapa?" tanya Dinda, tergagap. Pasalnya, ia benar-benar tidak dapat merasakan jari kakinya bergerak, padahal ia berusaha menggerakkannya.

Dinda menoleh kepada tiga rekannya yang kini menunduk. "Kaki kiriku kenapa!?" tanyanya sekali lagi, kali ini berteriak.

"Tenang, Dinda." Xin kembali mencoba menenangkan.

"Aku tidak bisa tenang, Xin. Kakiku mati rasa. Ada apa dengan kakiku!?" Sekarang, Dinda panik luar biasa. Ia menarik selimutnya, memperlihatkan kakinya yang diperban tebal, dan ingin bangkit untuk melihatnya.

"Tidak! Ini bukan waktunya, Dinda," cegah Leo, berniat baik karena Dinda baru sadar dari obat biusnya, dan takut kalau gadis itu pingsan akibat tahu yang sebenarnya.

"Kaki! Kaki!" Dinda mulai berteriak. Kali ini, ia berusaha menggerakkan kaki kirinya. Pemberontakannya berhasil dihentikan Xin. Dia berjanji akan memberitahu semuanya jika Dinda tenang.

Membuahkan hasil. Dinda tenang. Namun, matanya masih menatapnya penuh harap.

Ia ingin Xin tidak berbohong. Dinda benar-benar ingin kenapa kaki kirinya tak dapat digerakkan.

"Maafkan aku, Leo, dan Zack." Xin memulainya, membuat Dinda melebarkan mata karena kini ia tahu siapa nama dua lelaki yang sebelumnya tak dikenalnya itu. "Ini keinginanmu. Kami tidak dapat menghentikannya, daripada tulangmu patah dan kau tidak akan bisa berjalan lagi."

UndercoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang