Sepucuk Surat Merah Jambu

82 5 0
                                    

Satu minggu berlalu usai gue melamar Dokter Meyda. Selama itu gue selalu mengurung diri di dalam kamar. Gak keluar kamar kalau gak dibutuhkan Nyokap sama Vita. Selama itu juga jantung gue gak berhenti bergetar, dag-dig dug gak karuan. Saat ini gue benar-benar takut. Bukan takut dimarahin Bokap sama Nyokap kalo seandainya mereka tahu gue melamar Dokter Meyda pakai Martabak. Eh mmm maksudnya gue membawa Martabak saat melamar!

Gue takut banget lamaran gue ditolak Dokter Meyda, lantaran gue cuma bawa Martabak. Gak seperti Bang Anjar, Bang Gibran sama Aldo yang bawa cincin emas putih bertabur berlian.

Tiba-tiba aja gue kepikiran si Aldo. Tapi gue buru-buru buang si Aldo dari isi kepala gue. Huh! Si Aldo lagaknya sekarang udah kayak langit, eh setinggi langit. Lagian dari mana si Aldo tahu tentang Dokter Meyda? Trus apa si Aldo pernah ketemu sama Dokter Meyda? Dimana? Kapan?

"Kak Deni... ada yang mau ketemu...." Suara Vita keras dari depan pintu kamar ini. Tapi gue gak ngejawab. Gue malah manyun di atas kasur.

"Ya udah Vita makan sendiri aja kue dari Dokter Meyda."

Gue kaget banget mendengar "Dokter Meyda", menyusul hati gue menyahut, "Jangan-jangan yang mau ketemu gue, Dokter Meyda."

Gak pikir panjang lagi gue loncat dari kasur. Trus tergesa turun ke lantai satu. Sejenak gue berhenti di depan tangga, dengan nafas tersengal sorot mata gue meneliti rumah ini, sementara pendengaran gue meraba-raba suara. Tetapi gue gak melihat siapapun dan gak mendengar suara sedikitpun.

"Haaa kayaknya gue dibohongin nih sama si Vita." Gue mau balik badan, tapi gak jadi saat mendengar gemuruh mobil melaju di depan rumah. Otak gue langsung menangkap perkataan hati gue yang belum sempat terucapkan. Buru-buru gue keluar rumah, melihat bagian belakang HRV hitam yang melaju.

"Itu kan...mobilnya Dokter Meyda. Apa...yang nyari gue itu...Dokter Meyda."

Gue lekas lari ke depan rumah, menempelkan badan ke pagar besi kayak cicak kejepit di pager, trus kepala gue melongok keluar pagar, meneliti HRV hitam yang ternyata udah hilang.

"Patah hati lagi gue hari ini. Kenapa sih Dokter Meyda gak mau nungguin gue."

"Deni, kenapa kamu gelantungan gitu di pagar? Lihat siapa sih?" Suara Nyokap keras dari belakang gue.

Tanpa menjawab lemas gue balik badan, trus manyun melihat Nyokap yang tegas dan Vita yang senyum-senyum sambil membawa kardus kue. Melihat kue yang terbungkus kardus di tangan Vita, gue yakin nih, pasti kue itu dari Dokter Meyda.

"Ih apaan sih Kak Deni lihat-lihat kue Vita." Vita tegas sambil mendekap kardus kue.

"Vita, bagi dong sama Kakakmu juga. Tadi kan Dokter Meyda bilang mau mengucapkan terima kasih buat Kakakmu, jadi kuenya kan punya Kakakmu." Kata Nyokap.

"Ha! Jadi tadi beneran Dokter Meyda ke sini?" Tanya gue sampai-sampai melotot nih. Trus buru-buru gue mendekati Nyokap dan merebut kue dalam kardus di tangan Vita.

"Deni, Ibu mau bicara sama kamu. Ayo masuk." Kata Nyokap tegas dan tegas juga menatap gue, trus Nyokap masuk ke dalam rumah. Gue gak membalas, tapi cuma manggut-manggut pelan sambil manyun.

Kira-kira selang 10 detik gue mengikuti Nyokap yang masuk lebih dulu ke dalam rumah. Di depan meja makan gue duduk di depan Nyokap, sementara si Vita juga ikut duduk sambil menggenggam pisau untuk memotong kue.

Sesaat gue melirik si Vita yang masih menatap kue dalam kardus di meja. Gue sigap dong menarik kue yang belum dibuka ini ke depan dada gue. Eh....ternyata si Vita masih aja melirik kue dalam kardus ini. Dasar Vita, kayak gak pernah makan kue enak aja!

TUPAI ( TERUNTUK KAMU YANG TAK BISA KUGAPAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang