Belajar Dari Kebiasaan

255 20 5
                                    

Hari ini gue memenuhi panggilan wawancara sama perusahaan yang membalas surat lamaran yang gue kirim. Ada dua perusahaan yang manggil gue pada hari yang sama, tapi untungnya pada jam yang beda. Supaya irit ongkos bensin, gue nebeng Bokap naik Yaris merah. Dan sekarang gue duduk di samping Bokap yang serius mengemudi Yaris merah.

Setelah hampir setengah perjalanan, mendadak gue merasa tegang banget, tapi gue gak tahu kenapa bisa begini. Apa mungkin gue kepikiran sama si Aldo yang boro-boro dapat panggilan, ngirim surat lamaran kerja aja baru kemarin. Itupun nyari lowongannya di rumah gue,eh maksudnya...nyari info lowongan kerja di koran itu di rumah gue.

Malahan banyak banget yang gue sama Aldo lingkarin untuk kriteria lulusan Administrasi Bisnis. Mungkin karena jurusan Administrasi Bisnis itu paling laris di dunia kerja, jadi gampang cari lowongan kerja. Trus ijazahnya juga kemana aja bisa masuk tuh. Ke kantoran, toko makanan alias rumah makan, hotel, toko baju sampe toko kaset, dan yang online-online gitu.

"Eh Deni, apa gak ada yang mau kamu katakan?" Tanya Bokap sambil sesekali melihat gue.

Sebelum menjawab kening gue merapat, memikirkan pertanyaan Bokap. Selang lima detik gue menoleh pada Bokap, trus menjawab singkat, "Aaahmm...gak ada Pak."

Tanpa menoleh Bokap pun cuma menghela nafas panjang. Gak lama kemudian Yaris merah ini berhenti sejenak sebelum lampu merah, dan semakin lama terlihat barisan kendaraan semakin panjang.

Tiba-tiba Bokap nyanyi-nyanyi sambil kepalanya manggut-manggut kayak Raper gitu. Trus kesepuluh jari Bokap di atas setir mobil juga selalu bergerak. Kening gue pun mengkerut memperhatikan yang dilakukan Bokap.

Akhirnya lampu hijau menyala dan perlahan kendaraan bergerak. Bokap berhenti nyanyi-nyanyi sambil menginjak gas, jadilah Yaris merah ini kembali menapaki jalanan aspal Ibu Kota.

Ooo...gue baru ngerti, kenapa gue gak coba gaya Bokap aja? Nyanyi-nyanyi supaya gak tegang dan gak bosen. Pelan gue manggut-manggut, trus senyum-senyum kecil sampai senyum gue semakin lebar..

"Saat hujan tuuurun, tepat di depan mataku. Begiiituu deeerasnyaa, gue jadi kebasahan" Gue nyanyi lagu seila on 7, lagu yang sering gue dengarkan di radio, tapi ujungnya dikarang sendiri soalnya gue lupa liriknya.

Bagai di sambar petir, Bokap cepat menoleh, trus dengan tegas memotong, "E ee eeeh ganti-ganti lagunya, jangan nyanyi itu!."

"Kenapa Pak?"

"Lagu itu cocoknya dinyanyikan pas hujan turun, nah kamu lihat sekarang! Gak ada hujan kan?"

"Yang penting kan bukan lagu wajibnya musim hujan, jadi terserah Deni dong."

Dengan berat Bokap menghela nafas bersamaan kepalanya geleng-geleng. Tanda kalo Bokap gak sependapat sama gue.

"Tapi lagu itu lebih enak didengarkan pas hujan! Lagian kamu ini kenapa sih ikut-ikut nyanyi segala, padahal selama ini Bapak belum pernah dengar kamu nyanyi." Di awal perkataan suara Bokap lebih tegas.

"Ehmm yaaa soalnya Deni belajar dari melihat Bapak."

"Belajar melihat gimana?" Tanya Bokap tegas.

"Ya waktu tadi, Bapak kan nyanyi-nyanyi di lampu merah, jadi Deni ngikut."

Sambil tersenyum Bokap pun manggut-manggut, trus tanya, "Kenapa gak dari dulu kamu belajar dari Bapak?"

Gue gak segera ngejawab, tapi kening gue rara-rasanya menebal. Gue lagi memikirkan jawaban dari pertanyaan Bokap. "Deni juga gak tahu, tapi....mungkin karena otak Deni udah mulai kesetrum sama tingkah Bapak kalo lagi bosan di dalam mobil saat di lampu merah."

TUPAI ( TERUNTUK KAMU YANG TAK BISA KUGAPAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang