TUPAI (Teruntuk Kamu yang Tak Bisa Kugapai)

138 8 1
                                    

Tepat dua bulan sejak menerima undangan akhirnya datang juga hari yang paling sedih di hidup gue, yaitu pernikahan Dokter Meyda dengan laki-laki pilihannya. Sebenarnya acara pernikahannya dua minggu setelah menerima undangan, tapi acara pernikahan terpaksa diundur karena Dokter Meyda ditunjuk anggota Dokter relawan ke daerah-daerah dengan kesehatan terburuk di Indonesia. Dengan lapang hati Dokter Meyda menunda pernikahan demi menjalankan tugasnya sebagai Dokter. Membuat gue semakin kagum dan belum bisa move on, walaupun gue udah mencoba mengikhlaskan cinta gue.

Gak ada yang bisa mengerti kesedihan gue saat ini. Bokap yang selalu memaksa gue untuk datang di acara resepsi pernikahan Dokter Meyda akhirnya bertekuk lutut setelah mendengar pembelaan Nyokap terhadap gue. Gue merasa beruntung banget, masih ada yang mengerti gue di hari tersedih dan terburuk di hidup gue ini.

"Tok tok tok!" Suara ketukan pintu di depan kamar.

Gue bergeming di depan jendela kamar. Malas yang teramat membuka pintu kamar ini. Apa kalo mau pergi Bokap harus bilang dulu sama gue? Kalo mau pergi ya pergi aja. Gue tetap gak tertarik ikut mereka, walau Bokap merayu gue dengan seribu bahasa sekalipun.

"Den Deni... Den... dipanggil Ibu, suruh makan dulu di bawah." Suara Mang Encep.

"Deni masih kenyang!" Suara gue keras dari balik pintu yang tertutup rapat.

"Tapi Den...."

"Bilang ke Ibu, Deni masih kenyang, gak usah panggil-panggil Deni lagi. Deni mau di kamar terus."

Dari abis pulang sholat subuh, gue mengurung diri di dalam kamar, sama seperti hari-hari kemarin. Separuh hati gue emang udah mengikhlaskan Dokter Meyda menikah sama laki-laki pilihannya yang sampai hari ini gue ogah mendengar nama laki-laki itu. Tetapi separuh hati gue masih gak rela, sedih banget sama nasib cinta gue yang tragis.

"Deni....!!!" Suara Ibu keras dari lantai 1.

"Deni ada Aldo...cepet turun." Suara Nyokap lebih keras dan tegas.

Mendengar nama Aldo, gue langsung diam mematung, eh tapi otak gue malah ribut, mikir ini dan itu. Ngapain si Aldo ke sini lagi? Kita kan bukan sahabat lagi. Apalagi setelah gue tahu ternyata dia juga mengidolakan Dokter Meyda.

Aldo memang udah mengirim surat permintaan gencatan senjata, tapi isi dalam suratnya itu yang gak bisa gue terima! Masak gue dibilang sakit sakitan. Masih mending terluka daripada sakit-sakitan. Trus dia rela dipanggil bajing luncat, asalkan gue rela juga dipanggil tupai. Sorry, gue gak akan pernah rela dan gak akan pernah mau dipanggil tupai, apalagi tupai yang gak bisa loncat!

"Tok tok tok tok." Suara pintu kamar ini.

Mendengar suara di balik pintu kamar ini, darah gue jadi semakin mendidih, gue kan udah bilang kalo gue gak masih kenyang dan gak mau menemui Aldo di lantai satu!

Kesabaran gue habis nih. Kayaknya Mang Encep salah dengar atau gue yang salah ngomong. Huh! Terpaksa gue membuka pintu kamar ini. "Mang Encep...."

Gue gak melanjutkan luapan emosi dalam kata-kata gue, lantaran di balik pintu ini Aldo diam mematung dengan wajah melas kayak kucing minta Wiskhas. Gue mau buru-buru menutup pintu, tetapi kalah cepat sama tangan Aldo yang menahan pintu kamar ini.

"Lo mau apa sih ke sini? Mau minta maaf? Gue gak mau maafin!"

"Gue tahu, elo pasti gak akan maafin gue." Ucap Aldo lembut, lalu kepalanya menunduk.

Tetiba hati gue jadi serba salah. Kalo gue gak maafin Aldo, itu artinya gue gak menurut sama Allah. Soalnya di dalam Alquran Allah menyuruh hamba-Nya untuk saling memberi maaf. Orang sabar itu orang yang ikhlas memberi maaf setelah disakiti. Dan orang ikhlas itu orang yang berhasil dengan kesabarannya ketika disakiti.

TUPAI ( TERUNTUK KAMU YANG TAK BISA KUGAPAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang