track 17 | Had my faith in the...

729 165 13
                                    

--- track 17

---

---

"Kenapa harus pakai acara kabur ke Hong Kong sih?"

Chan mengernyit, agaknya tersinggung. Menoleh ke arah adik sepupunya yang kini duduk di sampingnya, "Kabur apanya."

Bukan kalimat tanya, karena intonasinya datar, lebih terdengar seperti nada mengelak. Felix balas melirik Chan sesaat sebelum akhirnya lebih memilih memandangi orang-orang yang nampak berlalu lalang di bandara saat itu.

"Semuanya sudah selesai, cukup ikuti apa keputusan pengadilan nanti, apapun itu, Lee Jongsuk pantas mendapatkannya." imbuh yang lebih tua. Tak jauh dari posisi mereka, netranya melihat Jillian yang nampak berjalan cepat ke arah mereka, baru saja kembali dari toilet.

"Maksud aku bukan kabur dari masalah itu, tapi kabur dari kak Minho."

Berterima kasihlah Chan pada Jillian, karena kedatangan asistennya itu membuatnya tak perlu lagi menanggapi apa yang Felix katakan. Ia berdiri, menggenggam pegangan kopernya, lalu mengintip sekilas arlojinya. Tak tahu saja ia, jika Felix yang melihat tingkahnya diam-diam mendengus kesal.

"Antarkan Felix pulang." ujarnya pada Jillian, lalu beralih menatap adik sepupunya yang kini sudah ikut berdiri, "Kamu pulang saja sekarang, kakak akan menunggu di sana saja," lanjutnya seraya menunjuk ke arah lobby dekat konter check-in.

"Kak Chan beneran ga kasihan emangnya sama kak Min—"

"Kamu kuliah yang rajin, jangan terlalu sibuk mengurus toko bunga." potong Chan cepat. Berpura-pura tak peduli jika ia baru saja memotong kalimat Felix. Sikap seakan tak acuhnya nampak kian sempurna ketika ia dengan santai menyampirkan backpacknya sebelum akhirnya melangkah menjauh dari sana seraya menggeret kopernya. Meninggalkan Jillian dan Felix yang hanya bisa menatap sedih punggungnya yang kian menjauh.

"Om Jillian,"

Yang disebut namanya sontak menoleh, menatap bertanya pada pemuda di sampingnya.

"Om Jillian tau gak kak Minho sekarang di mana?"

---

---

---

Usai mengambilkan dan menyiapkan sarapan untuk Minho, Juyeon langsung pergi entah kemana, katanya ingin bertemu temannya sebentar. Minho hanya mengangguk saat sang kakak pamit pergi, toh ia tahu kakaknya juga pasti tak akan lama.

Kini pemuda 23 tahun itu nampak berdiri di depan jendela, seraya tangannya menggenggam tiang infus yang ia bawa. Hidangan sarapannya yang baru tersentuh sedikit total ia abaikan demi bisa melihat lebih jelas bagaimana gergaji mesin itu mulai meraung dan membelah batang pohon tua di tepi danau, pohon yang seakan sudah menjadi teman selama ia dirawat di sini.

Walau nyaris mati, setidaknya pohon itu selama ini masih sanggup berdiri, menjadi tempat bersinggah beberapa burung yang datang silih berganti. Satu-satunya yang menjulang tinggi di tepian danau, namun akhirnya harus menyerah dan tumbang di atas ilalang-ilalang yang selama ini tumbuh di sekitar pohon itu.

Minho mulai merasa matanya memanas ketika melihat beberapa burung kecil terbang berputar di atas sang pohon, seakan mereka tahu jika tempat bersinggah mereka telah dihancurkan, pun tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan si pohon tua.

Minho mungkin benar-benar akan berakhir dengan berlinang air mata jika saja kegiatannya tak diganggu oleh suara pintu kamarnya yang terbuka, diiringi suara derap langkah yang memasuki kamarnya.

Ia sontak berbalik, dan tak mengelak jika beberapa saat ia berharap itu mungkin adalah Chan, orang yang selama ini ia tunggu-tunggu. Namun begitu yang ditemukannya justru dua orang pria dewasa tak dikenal, ia refleks meremat gugup tiang infus dalam genggamannya.

P.O.U (playlist of us) | Banginho✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang