--- track 1
---
---
Tak pernah sebelumnya Chan sampai dibuat sepusing ini hanya karena mengecek sebuah laporan keuangan. Ya, ia tak akan pusing jika saja suasana ruangannya kini bisa sedikit lebih tenang.
"Lee Minho."
"Iya Bos.." yang ditegur menyahut malas tanpa mengalihkan tatapannya dari benda kotak pipih dalam genggamannya.
Chan menghela nafas berat, tanpa sadar meremat bolpoin dalam genggamannya. Lihat saja anak itu kini tengah asik berbaring di sofa sambil bermain game online dengan suara berisiknya benar-benar mengganggu.
"Pelankan suaranya."
Chan mengira Minho akan berusaha mengelak tapi nyatanya bukan hanya memelankan suara gamenya, Minho bahkan menghentikan sekaligus kegiatan bermainnya. Membalas tatapan Chan sebentar lalu beranjak dari sofa hingga kini —dengan lancangnya— sudah beralih duduk di kursi tepat di depan meja kerja Chan.
"Om bilang aku ga boleh manggil om dengan sebutan 'om' lagi, terus aku harus panggil apa?"
"Kamu sekarang ada lingkungan kantor saya, panggil 'Pak' saja seperti karyawan yang lain." Chan menjawab seadanya karena anak ini tiba-tiba bertanya hal yang tak diduga dan tak penting seperti biasanya, sambil mengalihkan kembali fokusnya pada lembaran kertas di depannya.
"Tapi om bilang kan aku ga kerja di sini, tapi kerja di rumah."
"Saya sudah bilang, kita akan bahas ini setelah saya menyelesaikan semua pekerjaan saya hari ini."
"Ga mau, aku ga mau nunggu lebih lama lagi, sekarang aja kenapa si?"
"Kamu ga lihat saya punya banyak pekerjaan sekarang?"
"Emangnya berkas-berkas itu sekarang lebih penting daripada aku?"
"Iya."
Minho menyerah. Mukanya sudah memerah menahan kesal. Sebenarnya apa sih maunya orang tua ini? Pikirnya. Mengapa seperti suka sekali menyiksanya denga semua sikap kejamnya? Tidak tahu kah jika Minho sebenarnya sudah sangat lelah dengan semua ini?
Chan mungkin bisa begitu santai mengabaikannya, sedangkan dirinya —Minho— seakan sedang mempertanyakan kemana orang ini akan mengarahkan hidupnya. Bukankah seperti itu? Ini berarti bagi Minho, tapi mungkin tidak untuk Chan.
Minho yang tiba-tiba diam membuat Chan seketika mengalihkan netranya yang semula fokus pada lembar demi lembar berkas laporan pada pemuda itu, hingga ia dibuat terkesiap.
Minho menangis?
"Lee Minho—"
"Aku benci om.." Minho memotong dengan suara bergetarnya. Air matanya entah sejak kapan sudah mengalir deras. "Om sama aja kaya ayah."
"Apa—"
"Kenapa sih?! Kenapa ga ada satu orang pun yang mau peduli sama aku?! Yang mau dengerin aku, barang sebentar aja. Kenapa semua orang selalu seenaknya ngatur aku?! Aku capek.."
Chan hanya diam, walau barusan pemuda di hadapannya telah meneriakinya. Apa ia yang sudah membuat Minho tiba-tiba menangis?
"Om kira hidup aku selama ini enak? Enggak! Ayah mungkin punya banyak uang, tapi dia bisanya cuma maksa aku, ini! Itu! Om tau ga gimana rasanya?"
Minho jeda, hanya untuk melepaskan semua tangisnya. Tak peduli Chan mungkin akan mengganggapnya tidak waras karena tiba-tiba menangis, meraung-raung, dan berteriak. Mungkin juga memang iya, ia sudah tak waras.
KAMU SEDANG MEMBACA
P.O.U (playlist of us) | Banginho✔
Fiction généraleChan dengan karakternya yang dingin dan tegas harus menerima kenyataan jika Minho dengan segala masalah yang dibawanya perlahan-lahan masuk dan menjadi bagian dari kehidupannya. Namun, perlahan ia menyadari, semua tentang Minho tak selamanya buruk...