5. Bimbang

142 28 10
                                    

Setelah semalaman menangis, Sabira bangun dengan sekujur tubuh yang terasa nyeri. Tusukan-tusukan menyakitkan itu terasa begitu nyata menjalar dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Keningnya terasa panas, tetapi tubuhnya menggigil. Dengan malas, gadis itu menuju meja makan. Dia berpikir, dengan memperoleh asupan makanan, rasa sakit itu akan hilang.

"Selamat pagi anak Mami yang cantik!" sapa Wina dengan penuh semangat sambil menikmati hidangan di meja makan. Dia memandang dengan penuh takjub anak gadisnya yang semakin tumbuh memesona. Wanita itu terpana melihat Sabira yang kini semakin tinggi, bahkan sudah jauh melebihi dirinya.

Sabira terkejut ketika mendapati Wina masih berada di rumah padahal   waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Biasanya wanita karir itu selalu berangkat sebelum Sabira bangun. Mereka tak pernah sarapan bersama apalagi berbincang dari hati ke hati selayaknya ibu dan anak.

"Tumben, sarapan di rumah, Mam!" ketus Sabira sambil mengoles roti dengan selai cokelat kesukaannya. Diam-diam ia juga memperhatikan wajah Wina yang semakin segar meski usianya menuju kepala lima. Tubuhnya yang dibalut dengan blazer hitam dengan celana panjang berwarna senada juga masih tampak kencang dan proporsional.

Wanita yang tampak cantik dengan riasan natural itu mendadak gugup. Bola matanya berputar ke kiri dan kanan seolah tengah mencari jawaban.

"Hmm ... iya, semalam Mami pulang dari kantor agak larut, jadi tadi bangun kesiangan."

Sabira diam, enggan menanggapi lebih lanjut kalimat sang ibu. Toh, dia sudah tahu apa yang dilakukan Wina semalam. Beliau pasti bukan pulang larut dari kantor, melainkan berpesta dengan geng sosialitanya seperti biasa.

"Kamu sendiri, gimana, sweetheart? Sudah mau kuliah tahun ini?" tanya Wina sambil menyendok satu sendok nasi goreng buatan si Mbak. Bibirnya yang dilapisi lipstik berwarna nude tampak bersinar karena minyak.

Hati Sabira bergemuruh karena tak siap dengan pertanyaan mematikan itu. Kunyahan roti di mulutnya memelan seiring tatapan menyilet yang dilakukan Wina kepadanya.

"Aku belum mau kuliah, Mam, tapi mau fokus dulu ngembangin profesi yang sedang aku jalani sekarang," ucapnya dengan wajah tertunduk. Dia tahu pertanyaan itu akan selalu menghantui selama belum menuruti keinginan sang ibu.

"Duh, Sab, mau sampai kapan sih kamu jadi selebgram? Itu mah bukan profesi. Percaya Mami, kamu nggak akan bisa mapan hanya dengan mengandalkan produk endorse! Serius deh, lebih baik kamu kuliah dan terusin jalanin perusahaan Papi." Mami tampak serius dengan apa yang diucapkannya. Matanya memandang Sabira dengan penuh harap.

Sabira menelan ludah. Sungguh dia bosan dengan percakapan satu arah seperti ini. Gadis itu merasa, sang ibu tak peduli dengan cita-citanya apalagi perasaannya.

"Mami harap paling lambat tahun depan kamu kuliah. Jurusannya terserah kamu, yang penting berkaitan dengan bisnis, oke, my dear?" ucap Wina setelah memanggil si Mbak untuk merapikan meja makan.

Sabira mengembuskan napas kasar. Keinginannya bercerita soal Arqi menguap sudah setelah mendengar ocehan Wina. Lagipula wanita di hadapannya itu kini tengah sibuk dengan ponsel yang tiba-tiba berdering meminta diperhatikan. Setelah beberapa menit bicara di telepon, ia langsung bergegas mengambil tas kulit bermerk di atas meja lalu berdiri dengan tergesa.

"Aduh, sayangku, maaf banget, Mami buru-buru. Mami baru ingat lima belas menit lagi ada meeting. Nanti malam kita lanjut perbincangan kita, ya! Bye cintaku!" jawab Wina seraya mengecup kening putri satu-satunya itu.

Sabira mematung dan terperenyak dengan sikap Wina yang masih belum berubah sejak papi meninggal dunia empat tahun lalu. Matanya lagi-lagi berembun ketika mengingat sosok papi, satu-satunya orang yang begitu tulus, perhatian dan peduli padanya.

Di halaman, Wina bertemu Arqi yang baru saja memarkirkan mobil di halaman rumahnya. Wanita itu tak banyak bicara dan hanya sekadar tersenyum serta melambaikan tangan dari dalam mobil lalu pergi meninggalkan kediamannya yang mewah.

"Ngapain kamu ke sini? Kita kan udah putus!" tanya Sabira sinis ketika Arqi tiba-tiba muncul di hadapannya yang masih menikmati roti dengan selai cokelat.

"Sab, please, jangan putusin aku. Aku janji nggak akan mengulangi lagi." Tanpa diduga, Arqi berlutut di hadapan Sabira sambil berurai air mata.

"Kamu udah sering berjanji, Qi, tapi nggak pernah ditepati. Lama-lama aku tuh capek!" ucap Sabira setengah berbisik. Mati-matian gadis itu menahan air mata agar tak turun di hadapan lelaki itu.

"Sab, kamu kan tahu kenapa aku kaya gini. Masa kamu nggak ngerti? Kamu kan pernah bilang bakal dampingin aku terus bagaimanapun keadaannya. Kamu lupa?"

"Iya aku tahu kamu kayak gini karena papa kamu juga memperlakukanmu dengan kasar, tapi apa pantas aku yang jadi korbannya?" protes Sabira dengan mata yang semakin buram karena tangis.

"Sab, please ... kali ini aku benar-benar janji. Kamu ingat, kan, dulu, waktu papi kamu meninggal, aku yang ada di sampingmu, menghiburmu, dan selalu support kamu. Kamu ingat kan, Sab?" Arqi seolah membangkitkan kenangan masa lalu di mana mereka akhirnya bisa dekat dan memadu kasih.

Sabira mendadak tersekap oleh kenangan itu. Dia tahu Arqi banyak jasa dalam kehidupannya, tetapi ia sudah benar-benar lelah dengan hubungan yang begitu memporak-porandakan hati, fisik, dan mentalnya sekaligus. Gadis itu mendadak bimbang. Haruskah menerima cinta Arqi kembali ketika dirinya merasa telah tersakiti berkali-kali?

BERSAMBUNG..

====

Nah lho Sabira bingung, antara merelakan kekasih yang sudah tiga tahun bersama atau menyelamatkan fisik dan mental dari amukan Arqi yang sering kali tak terduga kapan datangnya.

Menurut kalian gimana, gengs? 😊🤔
Komen, yaaa! 😍😍💓

Maaciih
Luvluvv
-DIA

MY SEOUL-MATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang