30. Rendezvous (2)

102 14 5
                                    

Jantung Daffa semakin terasa melorot ketika menyibak tirai pembatas yang menutupi ranjang. Saat itu dia melihat seorang gadis dengan rambut berwarna merah terang yang tengah tertidur pulas di ranjang.

Pipi sebelah kanannya tampak membengkak dan menghitam. Sebagian kulitnya terlihat melepuh dan timbul bercak putih yang mengerikan jika orang awam melihatnya.

Sebenarnya Daffa tak sanggup melihat kondisi gadis yang dicintainya menjadi seperti itu, tetapi konsulennya malah meminta untuk memperhatikan luka itu dengan saksama.

"Daffa, kamu lihat, ini termasuk luka bakar derajat dua yang cukup parah, tetapi beruntungnya tulang pipinya masih utuh dan tidak hancur. Namun demikian, bedah plastik untuk kasus ini harus melalui tahap-tahap yang cukup panjang dan tidak mungkin cukup hanya dilakukan sekali. Prosesnya lama karena harus melewati operasi berkali-kali jika ingin benar-benar mendekati sempurna." Dokter berpengalaman itu menunjukan pada Daffa beberapa luka dan menyuruh pemuda itu mencatatnya.

"Tapi kemungkinan kembali seperti semula masih ada, Kan, Dok?" sela Wina dengan raut wajah cemas.

"Kemungkinan dan harapan itu akan selalu ada. Terlebih zaman sekarang yang sudah semakin canggih. Hanya saja memang dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan yang luar biasa. Mungkin, putri Anda harus berada di rumah sakit ini selama berbulan-bulan," ucap Park Jung Ho sambil berjalan menuju sofa. Sementara itu, Daffa masih tetap berada di samping Sabira dengan alasan ingin mengamati lebih jeli lagi luka yang ada.

Daffa terpekur memandang gadis di hadapannya. Hatinya menghangat sekaligus nelangsa. Dia senang karena akhirnya bisa bertemu lagi, tetapi sekaligus sedih karena harus mendapati keadaannya yang seperti ini.

Daffa nyaris terlonjak ketika gadis itu membuka mata dan menatapnya penuh tanya. Gadis itu juga tak kalah kaget ketika melihat lelaki asing yang tiba-tiba berada di hadapannya.

"Bia, kamu sudah bangun," ucap Daffa terbata dengan mata berbinar. Lisannya benar-benar tak terkendali untuk menyapa dan hatinya berdesir ketika mendengar suara gadis itu. Cintanya sama sekali tak berkurang meski telah melihat kondisi wajah Sabira yang hancur dan terluka parah seperti itu.

Mata Sabira semakin membulat dan tak mampu lagi menutupi rasa terkejut karena masih ada orang yang memanggilnya dengan nama panggilan itu. Tak banyak yang tahu bahwa nama itu adalah panggilan kesayangan dari almarhum papinya. Sejak papi wafat, Sabira enggan dipanggil dengan nama itu lagi karena hal tersebut selalu mengingatkannya pada sosok ayah yang sangat ia cintai.

"Kamu siapa?" tanya Sabira penasaran.

"Hmm, aku koas di sini," jawab Daffa dengan tatapan penuh kebahagiaan.

"Kenapa kamu bisa tahu nama panggilanku dulu?" tanya Sabira dengan nada datar. Tatapannya kosong dan sikapnya begitu dingin. Sangat jauh berbeda dengan yang pernah Daffa temui pertama kali di masa orientasi sekolah dulu.

"Aku, hmm..."

"Daf, let's move!" perintah Dokter Park Jung Ho tegas sebelum Daffa sempat menyelesaikan kalimatnya.

Daffa sempat gamang hendak memenuhi panggilan konsulennya atau tetap bersama Sabira untuk menjelaskan siapa dirinya. Namun, panggilan penuh penekanan itu kembali terdengar sehingga Daffa panik dan akhirnya meninggalkan Sabira dengan senyum mengembang sebelum pergi. Sabira ingin menahannya, tetapi kepalanya terasa berat ketika berusaha bangkit dari tempat tidur.

Akhirnya gadis itu hanya bisa pasrah ketika lelaki di hadapannya itu berjalan menjauh. Namun demikian, otaknya terus bekerja berusaha mengingat siapakah lelaki itu? Bagaimana mungkin dia bisa tahu nama panggilannya di zaman SMA dulu?

BERSAMBUNG..

Kenapa Sabira nggak ingat yaa sama wajah Daffa? Hmm jawabannya insya allah di episode selanjutnya, ya! Heheh...

Don't forget to vote and comment, yaa... Thanks a lot.
Luvluv
-DIA
💓

MY SEOUL-MATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang