27. Negosiasi?

90 16 4
                                    

Bab ini sebenarnya masih berada dalam bab sebelumnya, tapi sengaja aku bagi dua sebab takut kalian capek bacanya. Hehe.

Plis dukung Sabira dengan aktif vote dan komen, yaa! 😊 (Cara vote cuma tinggal klik tanda bintang di bagian kiri bawah, kok. Nggak susah, kan?) Tapi itu sangat berarti untukku dan Sabira. 💓💓💓

Ok, Happy reading, ya... 😊

================================
Mendengar penuturan perawat yang menyebutkan nama lelaki brengsek itu, darah Wina seolah mendidih. Tangannya terkepal untuk menahan emosi yang tiba-tiba memuncak.

"Mau ngapain dia ke sini?" gumam wanita tegas itu sambil menatap putrinya dengan khawatir. Dia takut rasa trauma Sabira kembali bangkit tatkala mendengar nama lelaki biadab itu.

"Saya tidak bersedia, Sus," tegas Wina sambil menggeleng kuat-kuat. Namun, tanpa diduga tiba-tiba Sabira memegang tangannya kencang lalu menatapnya lekat-lekat seolah meminta maminya membiarkan pengacara itu masuk dan menemuinya.

"Kamu yakin, My love?" tanya Wina sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Sabira.

Sabira mengangguk pelan karena dia ingin tahu dengan apa yang akan disampaikan oleh pihak mantan kekasihnya itu.

Wina menekan ego dan memilih menuruti permintaan putrinya. "Oke, sus, biarkan mereka masuk," perintahnya lugas. Sang perawat mengangguk lalu berbalik badan menuju luar ruangan. Tak lama setelah itu, seorang lelaki bertubuh tambun dengan kepala botak di bagian depan memasuki ruangan dengan tangan yang terlipat di dada sambil membawa koper.

Wina sudah bersiap di sofa sementara Sabira ia minta untuk tetap di tempat tidur dengan ditutupi tirai hingga pengacara itu tak bisa melihatnya.

"Apa kabar Bu Wina? Anda masih tampak awet muda ya meski sudah memiliki anak yang sudah gadis," sapa lelaki yang memperkenalkan diri dengan nama Anthony Rafael.

"Ada perlu apa Anda ke sini?" tanya Wina tanpa basa-basi. Wajahnya melengos seolah jijik melihat pria sok ramah dan sok dekat yang berada di hadapannya itu.

Anthony Rafael tergelak cukup lama sebelum akhirnya berbicara serius. "Oh, maaf, rupanya Anda adalah tipe orang yang ingin serba cepat. Baiklah kalau begitu saya to the point saja," ucapnya santai sambil membuka koper yang dibawa lalu dengan jemawa menunjukan sejumlah dolar yang berada di dalamnya.

"Jika dirupiahkan, jumlahnya kurang lebih 2 milyar rupiah. Kami rasa cukup untuk pengobatan putri Anda hingga dia kembali pulih seperti sedia kala," ujarnya dengan angkuh.

Mendengar itu, sontak saja Wina langsung berdiri berkacak pinggang dan menatap lelaki di hadapannya dengan tatapan menyilet. "Maksud Anda?"

"Tenang, Bu, duduk dulu. Kami hanya ingin bernegosiasi. Saya rasa ini adalah win win solution buat kita semua. Dengan begini, Sabira pulih dan Arqi bisa tetap melanjutkan hidupnya dengan tenang." Pengacara itu ikut berdiri lalu meminta Wina untuk tenang dan kembali duduk di tempat semula.

Wina menelan ludah lalu menarik napas dan membuangnya perlahan. "Jadi, Anda mau menyuap saya? Heh, asal Anda tahu. Saya bahkan bisa membayar orang culas dan curang seperti Anda lebih dari Sepuluh kali lipat dari ini! Tapi buat apa? Orang-orang seperti Anda hanya akan menjadi sampah di negeri ini yang cepat atau lambat akan tercium busuknya! Saya minta sekarang juga silakan pergi dari tempat ini!" usir Wina tegas. Matanya merah dan matanya melotot dengan napas yang memburu. Anthony tampak tak menyangka dengan respons Wina dan rasa terkejut itu semakin bertambah ketika Wina baru saja menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Sabira yang pipinya melepuh, bengkak, dan menghitam sudah berdiri di belakangnya sambil menatap sang pengacara dengan tatapan penuh benci. Gadis itu maju menghadapi Anthony meski Wina mati-matian mencegahnya.

"Anda bisa lihat luka saya ini? Lihat baik-baik! Ini adalah luka akibat perbuatan keji client yang saat ini Anda bela. Coba bayangkan jika putri atau saudara perempuan Anda sendiri yang menjadi korban seperti ini, apakah Anda masih tetap kehilangan hati nurani dengan menawarkan sejumlah uang seperti yang Anda lakukan sekarang?" tanya Sabira seraya menatap tajam lelaki di hadapannya.

Anthony terkesiap dan tiba-tiba hatinya merasa malu sekaligus iba dengan kondisi gadis belia itu. Tanpa banyak kata, lelaki itu langsung merapikan koper dan pergi terburu-buru meninggalkan dua wanita yang menghujaninya dengan tatapan penuh kebencian karena harga diri yang terluka dalam.

BERSAMBUNG..

MY SEOUL-MATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang