11. Surat Cinta

116 20 8
                                    

Hari menjelang senja, tetapi Daffa tampak masih begitu pulas terlelap setelah makan siang dan meminum obat yang diberikan dokter. Wajahnya sudah kembali terlihat tampan setelah perbannya dilepas dan lebam-lebam di wajahnya memudar. Sambil menunggu Daffa, Shin tampak asik menulis di buku harian sambil sesekali tersenyum menatap lelaki di depannya. Gadis itu menulis cukup lama dan saking seriusnya dia tak menyadari beberapa menit kemudian Daffa terjaga dan diam-diam memperhatikannya.

"Hey, Seung Chan, kamu nulis apa, sih, serius banget?"

Shin terlonjak dan nyaris menjatuhkan buku di pangkuannya. "Eh, kamu udah bangun?" Shin tampak kaget dan langsung buru-buru menutup buku hariannya seolah takut terbaca oleh Daffa.

"Hmm, bukan apa-apa, kok. Cuma iseng aja nulis-nulis dan gambar-gambar." Shin memasukan buku hariannya ke laci nakas.

"Kok, Aryo belum datang, ya?" Daffa melirik jam dinding yang jarum pendeknya sudah mengarah ke angka enam. "Udah sore begini, lebih baik kamu pulang, deh. Kamu pasti lelah, kan?" lanjut Daffa lagi sambil menoleh ke luar jendela. Salju terlihat turun cukup deras sehingga membuat suasana di luar menjadi serba putih. Jarak pandang pun terbatas akibat kabut yang cukup tebal. Tak banyak orang yang beraktivitas di luar ketika musim salju begini. Mereka memilih berada di dalam rumah dan bersantai sambil menonton atau membaca buku dengan penghangat yang terpasang di rumah masing-masing. Setelah hujan salju berhenti, biasanya petugas kebersihan akan sigap membersihkan salju yang menyelimuti jalanan supaya lalu lintas lancar dan mengurangi risiko kecelakaan. Suhu mencapai -7 derajat celcius sehingga udara di kamar perawatan juga masih terasa dingin meski penghangat ruangan sudah terpasang di sana.

Shin Seung Chan menggeleng. Bagaimana mungkin dirinya tega meninggalkan Daffa sendirian sedangkan perannya juga cukup besar dalam menjadikan Daffa terluka seperti ini. "Aku takut kalau terjadi apa-apa padamu, Daf. Bagaimanapun ini semua terjadi karena aku."

Daffa menelan ludah. "Berhenti menyalahkan diri sendiri, Seung Chan! Tenang aja, aku sudah sehat, kok. Lagipula di sini kan ada perawat yang berjaga 24 jam. Kamu nggak perlu khawatir. Mungkin Aryo juga sebentar lagi datang." Daffa berusaha meyakinkan gadis di hadapannya.

"Baiklah kalau begitu, aku akan pulang setelah Aryo datang," balas Shin tegas sambil merekahkan senyum yang membuat Daffa tak bisa berkata apa-apa lagi.

Tak lama kemudian, orang yang ditunggu-tunggu datang sambil menenteng beberapa kotak makanan dan minuman dengan jumlah yang cukup besar. "Hai, Hyong dan Nuuna, lihat aku bawa apa? Ayo kita berpesta!" pekik Aryo dengan wajah berbinar.

Shin membuka kotak makanan yang ternyata daging rendang dan nasi itu dengan antusias.

"Wah, kamu baik banget, Aryo!" ujar Shin senang. Kebetulan dirinya sudah lama ingin mencoba makanan Indonesia, tetapi belum pernah terwujud.

"Ah, biasa aja, kok. Aku tahu kalian pasti lapar dan bosan dengan makanan rumah sakit. Terutama Kak Daffa, pasti udah rindu banget kan makanan ini!" Aryo menunjuk rendang sambil menghirup aromanya.

Daffa mengangguk sambil tersenyum simpul. "Gomawo, Aryo! Ternyata kamu nggak sepenuhnya nyebelin, ya!"

"Ya iya, lah, Kak," ucapnya sambil memasang wajah cemberut.

"Eh, emang kamu dapat ini dari mana?" tanya Daffa penasaran.

"Teman seangkatanku ultah, terus ibunya yang asli minang datang dan membuat ini khusus untuk kami, teman-temannya yang berasal dari Indonesia. Kebetulan tadi ada lebihan, aku minta aja karena aku ingat kalian," ujar Aryo sambil menepuk dada bangga.

"Wow, luar biasa! Aryo pahlawan kita!" pekik Daffa sengaja dibuat berlebihan sehingga membuat yang berada di ruangan tergelak bersama.

Setelah itu mereka pun tak sabar untuk mencicipi makanan istimewa itu dengan lahap dan riang gembira.
Tak lama kemudian Shin Seung Chan pamit pulang.

"Hati-hati di jalan Nuuna," ucap Aryo sambil tersenyum.

"Gomawo, Yo. Goodbye!" ucapnya sebelum melangkah pergi.

"Kak, kenapa nggak jadian aja sama dia. Dia kan cantik!" tanya Aryo setelah Shin Seung Chan pergi.

"Ah, kamu ini, semua cewek Korea dibilang cantik!" Daffa melengos menghindari pertanyaan Aryo selanjutnya.

"Tapi emang dia cantik, kan, kak? Kalo kak Daffa jawab enggak, berarti ada masalah dengan mata Kakak." Aryo malah menatap tajam wajah Daffa dan memperhatikan sorotnya.

Daffa yang risih ditatap seperti itu, mendorong wajah Aryo pelan. "Ya. Dia memang cantik. Tapi, orang jatuh cinta kan bukan karena fisik semata. Ada hati dan perasaan yang berperan di sana. Kalau cuma karena fisik, itu namanya nafsu!"

"Hmm, menarik, nih. Jadi menurut Kak Daffa, kalau kita cinta karena dia cantik tuh nggak boleh?"

"Ya, bukan nggak boleh, tapi, jangan jadikan fisik sebagai satu-satunya patokan untuk jatuh cinta karena kan fisik bisa berubah entah karena usia atau hal lainnya. Kalau cinta cuma karena fisik, kemungkinan masa berlakunya nggak akan lama, sih," ucap Daffa bijak.

"Ah, Kak Daffa nih terlalu rumit, deh! Pusing aku!" jawab Aryo sambil membuka laci nakas untuk menyimpan ponsel.

"Eh, ada buku, Kak. Punya siapa, nih?" tanpa menunggu Daffa menjawab, Aryo langsung membuka dan membaca keras-keras isinya.

Dear, Daffa,
Aku tak mengerti mengapa akhir-akhir ini saat berada di dekatmu jantungku seolah berlompatan lantas memompa darah ke seluruh tubuh dengan lebih cepat.

Aku merasa gugup, tetapi di waktu yang sama aku bahagia.
Senyumku ingin selalu merekah. Tawaku ingin senantiasa berderai,
dan mataku seolah tak ingin berhenti berbinar.
Daffa, tahu kah kamu, disebut apakah perasaan ini?

-SSC

Setelah membaca tulisan itu sampai habis, Aryo ternganga dan melongo. Tak menyangka apa yang dibacanya ternyata begitu privasi. Begitu pun dengan Daffa. Lelaki itu hanya bisa terpana mendengar kalimat demi kalimat yang dibacakan Aryo tadi.

Aryo terduduk dan menatap Daffa lamat-lamat. "Benar kan feeling-ku, Kak? Ternyata dia ..." Belum selesai Aryo menyelesaikan kalimatnya, Shin Seung Chan kembali masuk ke dalam ruang perawatan dengan napas terengah-engah. Gadis itu baru ingat buku hariannya tertinggal di laci nakas ketika sampai lobi rumah sakit. Dengan panik, ia menaiki tangga darurat hingga ke lantai 3, tempat Daffa dirawat. Dan kini lututnya terasa lemas dan nyaris terjatuh jika tak berpegangan pada handel pintu. Wajahnya memerah tak kuasa menahan malu yang tiba-tiba hadir ketika matanya melihat Aryo sedang memegang dan membuka buku hariannya itu.

BERSAMBUNG...

Duh kebayang nggak sih malunya kalau jadi Shin Seung Chan? 🤔
Kamu bakalan ngapain tuh kalau ngalamin situasi kayak gitu? Hehe

Please vote dan komen supaya aku semangat lanjut terusss, ya...
Makasiih
Luvluv
-DIA
💓

MY SEOUL-MATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang