41. Lampu Hijau

86 10 3
                                    

Wina berjalan tergesa menuju ruang perawatan Sabira. Meski Ola sudah mengabari bahwa kondisi putrinya sudah stabil, hatinya masih risau dan tak tenang. Otaknya benar-benar penuh dengan berbagai pikiran buruk yang membuat jantungnya senantiasa berdegup kencang.

Tiba di ruang perawatan, Wina melihat Ola yang sedang berbincang dengan Sabira. Saat itu sang putri tampak lebih cerah dengan senyum yang mengembang di wajah. Ketika melihat Wina datang, Ola langsung berdiri menyambutnya dengan peluh yang tiba-tiba bercucuran dari ujung dahi. Jantungnya berdebar tak karuan saat Wina menatapnya tajam.

"Tante, aku minta maaf kemarin aku lalai sehingga Sabira ..." Ola menunduk dalam-dalam dan merasa tak sanggup untuk melanjutkan kalimatnya. Gadis itu bersiap menerima tumpahan amarah Wina karena memang itu adalah kesalahannya.

"Ya sudahlah, La. Lain kali tolong jangan begitu lagi." Tanpa diduga Wina malah terlihat tenang tanpa menunjukan kemarahan sedikit pun. Dia malah menepuk pundak Ola dua kali lalu berjalan menghampiri sang putri yang masih berbaring di tempat tidur.

Mendengar itu hati Ola lega luar biasa. Senyumnya mengembang lalu mengikuti langkah Wina yang duduk di samping putrinya. Dengan penuh kasih sayang, Wina membelai Sabira lalu mengecupnya lembut.

"Gimana keadaan kamu sekarang, sayang?"

"Better, Mam," jawab Sabira seraya tersenyum tipis.

"Maafkan Mami baru tiba, ya. Pesawatnya delay cukup lama jadi agak terlambat sampai ke sini," kata Wina dengan penuh penyesalan. "Mami sangat takut kehilanganmu sweetheart ... please jangan lakukan itu lagi, ya ... kamu tahu kan masih banyak yang sayang sama kamu," lanjutnya sambil menatap sang putri dengan penuh kasih.

"Iya, Mam, maaf sudah bikin Mami khawatir." Sabira balas menatap maminya dengan lembut sehingga membuat hati Wina menghangat. Rasanya sudah lama sekali ia tak mendapatkan tatapan penuh cinta itu.

Wina mengangguk pelan dan menggenggam tangan Sabira. "Kita berjuang sama-sama, ya! Mami akan selalu ada di sampingmu."

Sabira mengangguk pelan dengan air mata yang menetes di pipi. Semenjak Daffa ada di dekatnya, Sabira seakan mendapat suntikan semangat yang begitu besar sehingga membuatnya kembali bergairah dalam menjalani hidup meskipun keadaan saat ini jauh dari kata ideal.

"Oh iya, tadi Mami sempat bertemu dengan dokter bedah plastik. Beliau bilang operasi wajah kamu akan ditunda sampai kondisi kamu benar-benar stabil secara fisik dan mental. Nggak apa-apa, kan?" tanya Wina dengan wajah gusar. Dia tahu putrinya sangat ingin kembali cantik Namun, kejadian tak terduga beberapa waktu lalu membuat proses yang harus dilalui menjadi semakin panjang.

"It's ok, Mam," sahut sang putri tegar. Sabira menyadari itu akibat kesalahannya juga. Kini, dia telah pasrah apa pun yang akan terjadi dalam hidupnya ke depan.

"Mam, bolehkah aku jalan-jalan ke luar?" tanya Sabira ragu.

"Oh, kamu mau jalan-jalan ke taman? Boleh, dong. Mami tahu kamu juga butuh refreshing."

Pandangan Sabira beralih pada Ola seolah memintanya untuk menjelaskan keinginannya pada sang ibunda.

"Hmm, jadi gini lho, Tan, sekarang ini kan lagi ada festival musim semi di sini. Nah, Sabira pingin ke sana," ucap Ola mengambil alih percakapan.

"Festival musim semi? Sama siapa? Kalian kan nggak tahu daerah sini. Kalau sampai nyasar gimana?"

Ola menatap Sabira meminta persetujuan. Setelah gadis itu mengangguk, Ola kembali melanjutkan kalimatnya.

"Tan, kita duduk di sofa dulu, deh, yuk! Supaya aku lebih enak jelasinnya," ucap Ola sambil tersenyum lebar.

Setelah keduanya duduk nyaman di sofa, Ola mulai menceritakan tentang sosok Daffa, orang yang mengajak mereka ke festival musim semi tersebut. Ola juga bercerita bahwa keberadaan Daffa membuat banyak perubahan positif pada diri Sabira.

Mendengar itu, Wina tersenyum sambip mengangguk-angguk. "Ooh ada seseorang spesial rupanya. Pantas saja Sabira kini tampak lebih bersemangat. Baiklah  nanti Tante akan berkonsultasi dulu dengan dokter. Jika beliau mengizinkan, tentu saja Tante juga tak bisa melarang."

"Wah terima kasih, Tan. Aku juga kan pingin refreshing. Hehe."

"Eh, tapi Tante jadi pingin ngobrol sama pemuda itu, deh. Siapa namanya tadi?"

"Daffa,Tan. Tenang aja, besok pagi dia pasti ke sini, kok!" ujar Ola dengan riang.

***

Benar saja keesokan paginya Daffa kembali datang menjenguk Sabira dengan membawa setangkai mawar merah di tangan. Seperti biasa hatinya terasa riang saat ingin bertemu gadis pujaannya itu. Sepanjang lorong dia tersenyum sendiri sambil menyenandungkan lagu cinta.

Ketika memasuki ruang perawatan langkah Daffa terhenti ketika melihat Wina berada di sana. Jantungnya semakin berdebar tatkala wanita paruh baya itu menghampiri seraya menatapnya tajam dari atas ke bawah dengan tangan yang terlipat di depan dada.

"Kamu koas di sini kan, ya? Yang waktu itu bersama Dokter Park Jung Ho?" tanya Wina tegas.

"Betul, Tante," jawab Daffa sambil menyeka peluh yang tiba-tiba turun di pelipis. Pemuda itu merasa gugup dan takut dengan bahasa tubuh Wina yang mengintimidasi.

"Saya dengar kamu mengajak Sabira ke festival musim semi? Apa itu benar?"

"Hmm, iya, Tan. Itu pun kalau diizinkan," jawab Daffa yang semakin gusar ditanya soal itu. Pemuda itu takut jika Wina marah atau tak suka dengan sikapnya yang mendekati Sabira.

"Saya sudah konsultasi dengan Dokter Park Jung Ho via whatsapp, beliau bilang untuk saat ini Sabira belum boleh pergi ke mana-mana. Apalagi ke tempat yang banyak orang. Beliau Khawatir mental Sabira akan kembali down dengan pandangan orang kepadanya." Wina bicara dengan mimik serius sehingga semakin membuat pemuda di hadapannya semakin gentar.

"Oh baik, Tan, tidak apa-apa," jawab Daffa dengan nada kecewa.

"Tapi kalau itu membahagiakan Sabira, maka pergilah! Dia bisa memakai penutup wajah kan untuk menghindari tatapan orang-orang?" lanjut Wina lagi sambil mengulum senyum.

Daffa yang tadi sudah menunduk pasrah tiba-tiba kembali mendongak dengan senyum mengembang. Raut wajahnya kembali cerah setelah mendengar kalimat Wina. Ia nyaris saja melonjak-lonjak meluapkan kegembiraan jika tak ingat keberadaan mami Sabira di hadapannya.

"Tante pikir, sebelum menjalani operasi pekan depan, Sabira harus dalam keadaan senang dan tenang. Bukan begitu, Daf?"

Daffa mengangguk sambil tersenyum lega. Rencananya pergi bersama Sabira sudah ada di depan mata karena telah mendapatkan lampu hijau dari mami Sabira.

BERSAMBUNG...

Duh kenapa ya menjelang ending aku selalu merasa galau. Hiks.. Maaf yaa kalau ada kurang2.. Mudah-mudahan nanti bisa diperbaiki di versi cetaknya. Aamiin  

Jangan bosan untuk vote dan komen yaa biar aku nggak galau lagi heheh makasiih .. Luvluv

-DIA
💓

MY SEOUL-MATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang