"Cinta,
terkadang
datang tiba-tiba
tanpa mengerti
sepelik apa pun kondisinya."Shin Seung Chan menatap cemas Daffa yang tengah tergolek lemah di ranjang rumah sakit. Wajahnya sembab dan tampak kebiruan. Kening dan ujung bibirnya dibalut perban karena luka yang cukup parah. Lehernya dibalut alat penyangga karena luka akibat benda tumpul yang cukup serius. Menurut dokter, Daffa harus istirahat setidaknya selama seminggu. Hati Shin dipenuhi rasa bersalah karena secara tidak langsung dirinyalah yang membuat Daffa menjadi seperti ini.
"Daf, maaf ya, karena aku, kamu jadi kaya gini," ujar Shin dengan kepala tertunduk. Hatinya tak henti merutuki Lee dan tiga orang suruhannya yang begitu brutal menyerang Daffa tadi.
"Gwaenchana, bukan salahmu, kok, Shin." Daffa berusaha tersenyum meski tusukan rasa nyeri masih terasa di belakang leher, perut, dan beberapa bagian di wajah. Sudah hampir satu jam sejak dia siuman, Shin berada di sampingnya dan terus menyesali kejadian tak terduga tadi.
"Gimana kondisi kamu sekarang, Daf?" tanya Shin cemas.
"Aku nggak apa-apa, kok. Anak cowok harus kuat, bukan?" seloroh Daffa mencoba menenangkan Shin yang sejak tadi tampak gelisah. Lelaki itu berusaha bangkit dari kasur untuk membuktikan pada Shin bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan dari dirinya, tetapi rasa nyeri yang tak terkira tiba-tiba menyerang hingga membuatnya meringis kesakitan.
"Duh, jangan bangun dulu, Daf!" cegah Shin seraya berdiri dan menahan pundak Daffa.
"Ups, ternyata masih belum bisa duduk, ya," ucap Daffa sambil tersenyum kecil. "Oh iya, ngomong-ngomong, Aryo mana?" tanya Daffa pelan.
Belum sempat Shin menjawab. Orang yang dicari sudah muncul dari balik pintu dengan setengah berlari sambil membawa ponsel yang sudah tersambung video call dengan Feni, bunda Daffa, dan Ishvara, adik Daffa di Indonesia.
"Kak, ini," ujar Aryo sambil menyerahkan ponsel tanpa ragu.
Daffa menepuk jidat pelan, menyesali keputusan Aryo yang mengabarkan keadaannya saat ini pada keluarganya di Indonesia.
"Abang, kamu kenapa, Nak?" pekik Feni saat kamera terarah ke wajah anak sulungnya yang lebam-lebam dan dibalut perban. Wanita itu ternganga sambil menggelengkan kepala, tak menyangka wajah tampan putranya berubah separah itu.
Daffa menggeleng. "Aku nggak apa-apa kok, Bun, cuma luka kecil."
"Tapi kata Aryo kamu dipukulin orang?" tanya Feni lagi dengan suara bergetar. Matanya berembun, tapi buru-buru disembunyikan.
Daffa melirik Aryo sambil menggeleng kesal lalu kembali menatap bundanya. "Ah, dia suka lebay, Bun. Pokoknya, aku baik-baik aja, kok. Nggak usah khawatir, ya!"
"Beneran? Terus kata dokter gimana, Daf? Kapan kamu boleh pulang dari rumah sakit" Bunda tampak masih tak tenang meski anaknya berkali-kali meyakinkan semua aman terkendali.
"Hmm, aku belum tahu, sih, Bun, tapi insya allah nggak lama, lah. Bunda doain aja, ya! Nggak usah terlalu dipikirin." Daffa menarik kedua ujung bibir mencoba memberikan senyum terbaik untuk meyakinkan sang bunda agar tak lagi mengkhawatirkannya. Dalam hati, Daffa memendam rindu yang teramat dalam dengan sosok bunda dan ingin sekali segera pulang ke Indonesia dan memeluknya erat-erat. Namun, perjuangan belum selesai. Ia harus kuat dan tabah menjalani hari-hari berat ini tanpa bundanya.
"Bunda mah pasti doain setiap hari, Bang, tapi Abang harus ingat, sekarang tuh Abang lagi di negeri orang. Jadi, harus pintar-pintar jaga diri dan pilih-pilih pergaulan." Kali ini Feni tak tahan lagi. Air matanya tumpah tanpa bisa dicegah. Wanita itu sungguh rindu pada anak lelaki satu-satunya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY SEOUL-MATE
RomanceSabira Aninria, seorang selebgram berjiwa rapuh harus merasakan toxic relationship yang membuatnya frustrasi dan depresi. Gadis itu tak menyadari bahwa sebenarnya ada seorang lelaki yang mencintai dan mengamatinya jauh-jauh dari Seoul, Korea Selatan...