19. Peristiwa Tak Terduga

94 16 4
                                    

Jam dinding menunjukkan pukul 23.30 ketika Sabira tiba di rumah. Ia langsung menuju kamar lalu melemparkan tas tangannya ke meja rias dan mengempaskan tubuhnya ke kasur. Hari ini benar-benar melelahkan. Setelah foto-foto untuk produk endorse, Sabira langsung berangkat ke lokasi syuting dan mengambil beberapa adegan hingga larut malam. Gadis itu mendesah pelan sambil memijit kaki yang terasa pegal. Dia benar-benar tak menyangka menjadi pemeran utama dalam sebuah film ternyata selelah ini. Terlebih lokasi syuting dilakukan di Bogor yang berjarak cukup jauh dari rumahnya yang terletak di bilangan Jakarta Selatan.

Syuting hari ini harus tertunda karena hujan deras yang tiba-tiba turun. Akibatnya proses pengambilan gambar sedikit terhambat dan jadwal molor sampai dua jam. Namun demikian, Sabira senang menjalaninya karena sadar betul bahwa itu adalah konsekuensi atas apa yang telah dia pilih. Lagi pula dengan terlibat dalam produksi film ini, gadis berlesung pipi itu bahagia karena bisa mengenal lebih dekat artis lain yang selama ini hanya bisa dilihat di layar kaca maupun layar lebar.

Suara ponsel terdengar nyaring tepat ketika Sabira bangkit dari tempat tidur. Tadinya dia ingin membersihkan diri ke kamar mandi. Namun, panggilan itu mencegahnya. Cukup lama dia menatap layar yang menunjukkan sebuah nomor yang lagi-lagi tak dikenal. Bukannya tak mau menjawab, tetapi dia tahu nomor-nomor itu menghubunginya hanya untuk meneror. Hari ini sudah hampir sepuluh nomor dia blokir karena terus-terusan meneleponnya. Sekarang muncul lagi satu nomor baru. Rupanya sang peneror masih belum putus asa mengganggu.

"Halo Arqi, apa sih maumu? Kalau cuma mau meneror, maaf aku nggak ada waktu!" Sabira akhirnya menjawab telepon itu dan membentaknya sebelum si penelepon berbicara.

"Temui aku sekarang di depan pagar!" perintah suara bariton itu dengan tegas.

"Sorry nggak bisa. Aku capek!" ucap Sabira sambil bersiap menutup telepon.

"Baiklah, kalau kamu nggak mau, aku akan mencelakai ibumu. Saat ini dia masih berpesta di rumah salah seorang rekan sosialitanya. Oh iya, Ola juga. Gadis itu juga akan kubuat celaka jika kamu tak mau menemuiku sekarang!" ancam lelaki itu membuat Sabira urung menutup teleponnya.

"Heh, kamu bener-bener nggak waras, ya! Mau kamu apa, sih?" tanya Sabira dengan jantung berdebar. Kali ini gadis itu cukup gentar dengan ancaman Arqi karena menyangkut orang-orang terdekatnya.

"Temui aku sekarang atau kamu akan menyesal!" Suara Arqi tampak serius saat mengatakan itu. Bulu kuduk Sabira berdiri dan tangannya gemetaran. Gadis itu jeri dengan ancaman yang baru saja didengar. Namun, sebisa mungkin ia berusaha tenang agar lelaki itu tak semakin leluasa mengintimidasi.

"Mau ngapain? Ini udah malam banget! Emang nggak bisa besok apa?"

"Baiklah, kalau kamu memang ingin ibumu dan Ola celaka. Aku akan .."

"Oke, oke, aku keluar. Awas saja kalau kamu berani ganggu Ola dan mami!" sela Sabira sebelum kalimat Arqi tuntas. Gadis itu mengembuskan napas kesal lalu bergegas mengambil jaket hitam yang tersimpan di lemari lalu mengenakannya. Dengan buru-buru, dia menutup kepala dengan tudung jaket dan memakai masker agar lelaki itu tak bisa leluasa memandangi wajahnya. Sebenarnya gadis itu enggan menemui Arqi karena trauma dengan kekerasan yang ia lakukan tetapi rasa khawatir terhadap Ola dan Mami mengalahkan rasa trauma itu.

Sabira membuka pintu kamar lalu melangkah cepat menuju gerbang rumahnya. Udara di luar terasa menusuk meski dia sudah mengenakan jaket tebal. Bulan dan bintang yang bertaburan di langit menjadi cahaya yang menerangi langkahnya malam itu. Ketika tiba di sana, Sabira tidak lantas membukakan pintu gerbang. Mereka hanya saling memandang penuh kebencian dan berbicara dengan batas pagar yang menjulang. Pagar itu bermodel besi ulir yang terdapat celah cukup luas sehingga mereka masih bisa melihat satu sama lain. Sabira menantang mata Arqi yang saat itu tampak gelisah.

"Aku udah di sini. Kamu mau apa?" tanya Sabira lugas.

Arqi mendekat lalu menatapnya lekat-lekat. "Aku mau kamu, Sab! Please ... beri aku kesempatan sekali lagi!" Tiba-tiba Arqi berlutut dan menangis penuh sesal seperti waktu itu. Dia berharap Sabira akan luluh lagi ketika melihat air matanya.

Sabira menelan ludah lalu menatap lelaki di depannya dengan tajam. "Aku udah kasih kamu banyak kesempatan, tapi kamu sendiri yang terus menyia-nyiakannya. Maafin aku, hubungan kita udah nggak bisa lanjut lagi. Tolong kamu bisa menerima itu dengan lapang dada. Aku mohon, jangan ganggu aku lagi. Kita bisa kok putus baik-baik. Aku janji nggak akan menuntut apa pun dengan apa yang sudah kamu lakukan padaku," jelas Sabira panjang lebar. Gadis itu berharap pertemuan ini menjadi akhir dari hubungan mereka yang begitu pelik.

"Apa karena sekarang kamu sudah jadi aktris film jadi berani menolakku, hah?" tiba-tiba Arqi bangkit dengan mata memerah. Napasnya mendadak cepat dan tak beraturan ketika berbicara.

Sabira menggeleng kuat-kuat. "Sama sekali bukan. Meski aku nggak jadi aktris aku tetep nggak sudi jadi samsak kamu terus-terusan!" tegas Sabira sambil membuang muka.

"Brengsek! Dasar cewek brengsek!" maki Arqi seraya menyiramkan sebotol air keras ke arah wajah Sabira. Sontak saja, Sabira spontan mengangkat tangannya untuk menghalau cairan itu. Dia buru-buru mundur dan berlari ke dalam rumah sambil berteriak meminta pertolongan.

"Panas! Panas! Tolong!" ucap gadis itu sambil menangis histeris menahan rasa terbakar yang tiba-tiba menjalar di pangkal tangan bagian kanan dan sedikit di bagian pipi.

Melihat itu, Arqi kesal karena targetnya untuk menyiramkan air keras ke seluruh wajah Sabira tak tercapai. Namun, ia memutuskan untuk langsung kabur dengan sepeda motornya sebelum satpam komplek yang berjaga di depan curiga akan teriakan Sabira yang membahana.

BERSAMBUNG...

Kurang lebih seperti ini pagar rumah Sabira, gaes

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kurang lebih seperti ini pagar rumah Sabira, gaes..

MY SEOUL-MATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang