Ola berjalan mondar-mandir di depan ruang ICU (Intensive Care Unit) dengan gelisah karena memikirkan kondisi Sabira yang masih belum jelas setelah percobaan bunuh diri yang dilakukan. Keringat mengucur deras dari kedua sudut kening dan jantungnya berdebar tak keruan karena diselimuti rasa bersalah yang teramat besar. Dengan kondisi mental Sabira yang teramat rapuh seperti sekarang ini tak sepatutnya dia ditinggal sendirian apalagi dengan benda tajam di sekitarnya. Ola sungguh merasa bodoh dan menyesali kelalaiannya itu. Beberapa kali kedua tangannya memukul-mukul kepala dengan kencang sambl mengomeli dirinya sendiri.
"La, banyak berdoa, ya! Keadaan Sabira sekarang masih dalam masa kritis." Suara Daffa yang mengagetkan terdengar dari balik punggung Ola. Sontak saja ia langsung berbalik dan menatap lekat-lekat wajah senior di SMAnya itu.
"Ya Allah, Kak," pekik Ola seraya meneteskan air mata. Tulang-tulang kakinya terasa lemas seolah tak mampu lagi menopang berat tubuhnya sehingga dia harus terduduk lunglai di lantai sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Daffa berdiri di samping Ola dan menyandarkan tubuhnya ke tembok sambil mendongakkan wajah berusaha menahan laju air mata yang sejak tadi sudah berdesakkan ingin keluar.
"Apakah masih ada harapan untuk Sabira, Kak?" tanya Ola dengan suara serak. Perasaan bersalahnya semakin dalam, hatinya benar-benar sakit dan takut akan kehilangan sahabatnya itu.
"Kita serahkan semua sama Tuhan, La. Aku sendiri nggak bisa memastikan," jawab Daffa sambil mengusap tetesan air yang akhirnya mengalir begitu saja di kedua pipi.
"Ini salahku, Kak. Kalau saja aku nggak ninggalin dia sendirian pasti Sabira masih sehat sekarang." Ola mulai tersedu-sedu dan menangis pilu dengan posisi masih terduduk di lantai, persis seperti tantrumnya anak kecil tak dibelikan mainan yang diinginkan.
Daffa menggeleng pelan. "Sudahlah. Nggak baik terus menerus menyalahkan diri sendiri. Lebih baik sekarang kita fokus berdoa saja untuk Sabira," ucap Daffa dengan pandangan lurus ke depan.
"Oh iya, kamu udah ngabarin ibunya?" lanjut Daffa lagi, kali ini sambil menatap Ola dengan tatapan menenangkan.
Ola menggeleng kencang. "Belum, Kak. Aku takut. Beliau pasti akan menyalahkan aku karena udah ninggalin Sabira sendirian. Jangan-jangan aku nanti malah dituntut secara hukum sama beliau," ucap Ola dengan suara bergetar karena berbicara sambil terisak-isak.
Daffa yang bajunya masih berlumuran darah itu menelan ludah dan menghela napas berat. "Jangan overthinking! Sebaiknya kamu kabari sekarang karena jika kamu nggak ngasih tahu, beliau pasti akan tambah marah. Terlebih kita nggak tahu bagaimana nasib Sabira nanti." Suara Daffa tercekat karena merasa tak sanggup mengatakan kalimat terakhir. Dia sungguh takut akan datangnya kemungkinan terburuk.
"Ini pakai saja ponsel punyaku," ujar Daffa lagi sambil menyodorkan ponsel.
Alih-alih mengambil telepon genggam itu, Ola malah memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa sakit. Selain takut, gadis itu juga bingung apa yang harus dikatakan pada mami Sabira.
"Hey, kenapa? Ini ayo cepetan telepon," perintah Daffa tegas. Kali ini pemuda itu menatap Ola tajam dan memerintah dengan nada memaksa.
Ola menatap ponsel itu cukup lama sebelum akhirnya mengambil dengan ragu. Setelah mengetik nomor Wina dan menekan tombol memanggil, Ola menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Hope the best and prepare the worst.
***
BERSAMBUNG...
Menurut kalian maminya Sabira bakalan marah sama Ola, nggak?
Plis komen yaa hehe maacih.Oh iyaaa jangan lupa vote ya dengan mengklik tanda bintang di kiri bawah 😍
Luvluv
DIA
💓💓
KAMU SEDANG MEMBACA
MY SEOUL-MATE
RomanceSabira Aninria, seorang selebgram berjiwa rapuh harus merasakan toxic relationship yang membuatnya frustrasi dan depresi. Gadis itu tak menyadari bahwa sebenarnya ada seorang lelaki yang mencintai dan mengamatinya jauh-jauh dari Seoul, Korea Selatan...