Jantungku rasanya seperti mau copot lantaran gemuruh tepuk tangan beserta siulan nyaring yang muncul tepat saat suara dari tuts piano menghilang. Yang benar saja. Kapan kerumunan ini muncul? Padahal sepuluh menit lalu, hanya beberapa orang yang melintasi tempat ini. Aku adalah salah satunya.
Pada saat itulah, sebuah piano di sisi ruangan tak sengaja tertangkap mata. Setelah melihat bahwa tak ada orang di ruang musik, keisengan pun muncul. Aku menggeser bangku, memainkan musik yang masih terekam dalam kepala, Dichterliebe op 48. Tentu setelah menekan beberapa tuts guna memastikan benda besar ini masih dalam keeadaan tersetel meski dihinggapi debu.
Ya, kupikir tidak akan ada yang menyaksikan permainan si pianis amatir yang payah ini.
Tanpa bepikir dua kali, aku segera bangkit dan membungkukkkan badan, memberi hormat layaknya peserta dalam kontes piano klasik. Benar-benar canggung, aku ingin segera keluar dari sini. Oh, tidak. Itu tidak sopan. Lebih baik diam saja di sini, memberi senyum sampai riuh aplaus itu reda.
Persis seperti dugaanku. Mungkin karena telapak tangan mereka sudah telanjur memerah, siswa dalam kerumunan itu membubarkan diri satu persatu. Namun, tiga orang siswi tampak enggan meninggalkan tempat masing-masing. Salah satunya mendekat kemudian menggenggam erat tanganku. "Kamu beneran Aya dari kelas XI IPA 1? Aku kira hidup kamu cuma buat belajar matematika. Enggak nyangka kamu pinter main piano juga."
Gadis itu sedikit mengangkatnya agar bisa memerhatikan dari dekat. Bagaimana aku tidak heran. Kedua matanya tampak serius meneliti setiap jemari, membolak-balik. Apa dia berpikir aku menggunakan semacam bubuk magis para peri yang bisa membuat penggunanya mahir melakukan apa pun?
Sementara salah satu temannya berjalan mendekati piano kemudian duduk di atas bangku. "Keren! Yang tadi itu lagu 'Summer Rain' dari Gfriend, kan?" Eh, apa? Apa karena terlalu terlena aku salah memainkan nada, sampai-sampai Dichterliebe malah berubah menjadi musik lain yang belum pernah pernah kudengar?
"Yah, aku tau kamu bikin temponya jadi lebih lambat. Tapi aku masih bisa kenal, kok," dia melanjutkan seraya membolak-balik kertas musik. Sesaat kemudian, siswi yang tidak kuketahui namanya itu mengembalikannya seraya mengernyit. "Bener, kan, itu bagian reff lagu 'Summer Rain'? Aku bahkan enggak tau kamu suka KPOP juga."
Rahang bawahku seketika turun. Memori smartphone hanya berisi ratusan piece musik yang diputar setiap malam sampai jatuh tertidur. Jika ada lagu lain, hanya kudengar sekilas, tanpa berniat menghafalkan liriknya. Jadi, bagaimana mungkin aku memainnkan lagu yang dia maksud. "Maaf, tapi aku beneran enggak tau."
Gadis itu hanya mengangguk lalu kembali mengamati setiap sisi piano tersebut. Lima menit lagi waktunya bel masuk kelas. Kalau ketahuan bolos, bisa-bisa aku harus berurusan dengan guru BK. Akan tetapi, mana mungkin kubiarkan pianonya dalam keadaan begitu. "T-tapi, sebentar lagi masuk. Aku mau tutup pianonya dulu terus pergi."
"Tenang aja, nanti aku yang tutup. Aku juga anak klub musik," balasnya seraya melambaikan tangan. "Kelasku bakalan jamkos sekarang. Telat dikit enggak papa, kok, asal enggak kepergok Pak Zen." Dia benar-benar tampak seperti tidak peduli. Yah, kalau begini apa boleh buat.
Aku pun segera pamit, melangkah menuju pintu keluar yang masih terbuka sedikit setelah siswa laiin membubarkan diri.
"Aya, bisa ikut saya sebentar?" Langkahku terhenti oleh suara yang begitu familier. Di belakang berdiri Bu Dini, guru seni budaya yang kebetulan punya jadwal mengajar di kelasku untuk dua jam ke depan. Perempuan itu tersenyum ramah, memimpin perjalanan menuju ruang guru.
Aku memilih untuk membisu sepanjang jalan, mencoba menjawab pertanyaan yang terlintas. Kira-kira apa yang membuat Bu Dini sampai harus berbicara padaku di ruangannya? Apa karena ada kolom nilai yang masih kosong. Ah, tidak mungkin. Aku, kan, selalu mengumpulkan tugas lukisan itu, walaupun hasilnya sangat di luar ekspektasi.
Para guru tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Bu Dini membawaku menuju meja yang terletak paling ujung. Terdapat bunga plastik dengan vas dari kertas karton, tepat di sebelah tumpukan tugas seni rupa. Kertas paling atas tampak sangat kacau. Cat air yang digunakan berlepotan, selusin warnanya yang gagal membentuk gradasi. Di sudut kanan atas terdapat nama seseorang, Ranaya Anindita. Namaku sendiri.
Saat sibuk meneliti setiap detail dari ruangan tersebut, aku baru sadar akan suara kursi kayu yang digeser. Bu Dini hanya terkekeh pelan. Ah, ini benar-benar memalukan. Seharusnya aku mengambil alih, bukan membiarkan dia bersusah payah melakukan itu hanya agar siswinya bisa duduk.
"Silakan. Tidak usah canggung, Aya. Saya meminta kamu ke sini bukan untuk mengomentari lukisan itu." Rasa maluku sudah sampai puncaknya ketika dia kembali membahas soal tugas minggu lalu. Tanpa berpikir dua kali, aku pun segera duduk sembari menunduk, menyembunyikan wajah.
Entah apa yang akan beliau katakan sekarang. Aku tak tau harus menaruh muka di mana. Pelan-pelan kuangkat wajah. Hanya ekspresi ramah yang ditunjukkan Bu Dini. "Baiklah, langsung saja ke intinya. Tadi, saya tidak sengaja mendengar permainan pianomu. Bagus sekali. Itu Schumann, kan?" Aku hanya menjawab dengan anggukan.
"Kalau tidak salah, kamu hanya ikut klub matematika yang jadwal latihannya dua kali seminggu, ya? Bagaimana kalau kamu masuk klub musik? Sayang sekali kalau bakat kamu tidak dikembangkan," paparnya. Sejenak, sekujur tubuhku membeku, bahkan sampai hampir lupa bernapas.
Takut-takut, aku bertanya memastikan. "Klub musik?" Bu Dini mengiyakan.
Ah, tidak. Apa yang harus kulakukan sekarang?
"Eh, saya tidak memaksa. Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau. Aduh, jangan menangis begitu." Bu Dini terlihat sedikit panik. Aku tersentak, refleks mengusap pipi. Basah. "Saya mengerti kalau selama ini kamu hanya mengambil satu ekstrakurikuler, karena tugas dari klub matematika cukup berat."
Tangisanku malah semakin menjadi. Apa-apaan ini? Aku tidak boleh terlihat lemah di depan orang lain. Tinggal jawab aku harus fokus di klub matematika apa susahnya?
"Apa benar ... tidak masalah? Apa Ibu tidak akan mengecap saya sebagai murid yang tidak baik?" Suaraku menjadi sedikit bergetar.
"Tidak, tidak akan. Mana mungkin saya akan melakukan itu." Bu Dini bangkit dan mengelus bahuku perlahan. Dengan cepat kuusap air mata sebelum hidung ikut berair. "Saya hanya sedang mencari siswa yang berpotensi di piano klasik. Kamu masih bisa menggunakan piano itu kapan pun walaupun bukan anggota klub musik."
Aku menatap Bu Dini lamat-lamat. Aku tidak terlalu mengharapkannya, tetapi dia malah memberiku kesempatan. "Hanya untuk latihan sesekali tidak masalah. Masalahnya cuma satu. Saya tidak bisa dengan mudah mengikutsertakan kamu ke kontes musik," jelasnya lagi tanpa kupinta.
"Ibu ... tidak marah pada saya, kan?" aku kembali bertanya ragu-ragu. Namun, wanita itu kembali menggeleng. "Terima kasih banyak," ungkapku seraya tersenyum lebar.
Aku senang. Ia tidak menaruh kekecewaan padaku.
*
1 Juni 2021, 12:21 WITA.
Sebagai informasi, lagu "Summer Rain"-nya Gfriend memang pakai penggalan musik Dichterliebe.
Kalian bisa bandingkan dengan musik di mulmed.
Jangan lupa vote dan comment. 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] I am (not) a Good Girl
Подростковая литератураBagi Aya yang hidup dengan "good girl syndrome", kebahagiaan orang lain adalah segalanya. Dia akan melakukan apa saja demi itu, termasuk mengorbankan impiannya--menjadi pianis. Semua hanya agar orang-orang melihatnya sebagai anak baik. Suatu hari...