"Hati-hati," ucap Mama singkat ketika aku mencium punggung tangannya. Ia sudah tidak sedingin pekan lalu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak melihat apa pun kecuali senyum palsu. Ya, bukan hal aneh ketika tidak ada kerutan di sekitar mata wanita itu. Bisa kembali mendengar suaranya saja sudah cukup melegakan bagiku.
Banyak hal yang tidak bisa kuketahui darinya. Seperti yang dikatakan Papa, bisa saja tekanan di tempat kerja membuat Mama begitu. Itu cukup masuk akal. Maka seharusnya rumah adalah tempat ia melepas semua beban berat itu. Namun, yang kulakukan hanyalah membuat ia semakin frustrasi saja.
Bagaimana kalau aku tidak pernah bisa masuk universitas impiannya dulu? Entah sudah berapa kali pertanyaan itu terlintas dalam benak selama aku hidup. Bukan bermaksud menyerah, tetapi kemungkinan untuk gagal selalu ada. Apakah dengan begitu Mama sudah tidak bisa bahagia lagi?
Sikap dingin itu selalu saja kembali ketika aku pulang dari rumah Miss Emma sepertinya cukup untuk menjadi jawaban. Entahlah. Tidak perlu dibayangkan bagaimana marahnya beliau kalau tahu aku malah lebih sibuk berlatih menjadi pengiring daripada belajar untuk olimpiade matematika dua bulan lagi.
------x---x------
"Jangan banyak melamun. Tempo kamu berubah di menit ketiga." Meski tidak sekasar latihan pertama, ucapan tak berintonasi Rangga yang menyambut akhir permainanku membuat siswa yang kebetulan lewat mengintip penasaran lewat celah pintu. Ini mungkin sedikit konyol. Sejujurnya aku agak bersyukur rahang lelaki itu masih sedikit lebam.
Rangga mengerang pelan. "Ulangi lagi." Aku hanya mengangguk kemudian memulai permainan dari awal seperti yang ia inginkan.
Seperti yang sudah diduga, sore ini ia hanya duduk sembari melipat kedua lengan di kursi plastik dengan salah satu kaki terangkat. Memasang wajah serius seolah bersiap melontarkan kalimat-kalimat pedas seperti biasanya. Gayanya sudah seperti pelatih atau kritikus musik profesional.
Aku sempat menanyakan soal dirinya yang sudah empat hari tidak bisa berlatih. "Itu urusanku." Hanya itulah balasan dari Rangga. Bukan apa-apa. Masalahnya, percuma saja kalau yang berpenampilan bagus hanya pengiring. Kesalahan violinis akan menjadi hal utama yang diperhitungkan juri dan seluruh pendengar.
Ketika permainan keduaku berakhir, Rangga seperti hendak memberi komentar. Namun, urung karena melihat Bu Dini yang memasuki ruangan dan langsung menempati salah satu kursi yang masih kosong. "Rahangmu masih sakit?" Pemuda itu hanya menganggung samar sebagai jawaban. Kalau boleh menebak, kemungkinan besar kalimat yang ada di kepalanya saat ini adalah 'Kalo itu, jangan ditanya.'
"Saya sangat senang kamu bersedia masuk klub ini, Aya." Aku berbalik menghadap mereka berdua yang duduk berdekatan. Menggeleng pelan sebagai respons atas ucapan Bu Dini. "Kalau tidak, saya pasti sudah kerepotan mencari seseorang yang mau menjadi pengiring." Aku kembali menggeleng, kali ini sembari tertawa pelan. Sebab yang menjadi masalah sebenarnya bukan tidak ada yang merelakan diri, tetapi Rangga yang terlalu pemilih.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] I am (not) a Good Girl
Roman pour AdolescentsBagi Aya yang hidup dengan "good girl syndrome", kebahagiaan orang lain adalah segalanya. Dia akan melakukan apa saja demi itu, termasuk mengorbankan impiannya--menjadi pianis. Semua hanya agar orang-orang melihatnya sebagai anak baik. Suatu hari...