Rangga mendongak, dengan kedua mata yang melirik ke arahku. “Aku udah cerita semuanya. Sekarang giliran kamu.” Aku mematung. Namun, raut wajah serius itu seakan telah memberi perintah mutlak yang tak boleh dilawan.
Entah mengapa aku menjadi begitu gugup gara-gara permintaan itu. “Maksudku, kamu berharap apa? Enggak ada kejadian di hidupku yang menarik untuk diceritain.” Pemuda itu hanya mengangkat alis. “Bukannya lebih baik kita latihan aja? Waktunya masih lumayan loh. Kalo bisa, aku sekalian sambil ngapalin partitur.”
“Yah, terserah kamu. Lagian bukannya bagus kalo kita bisa saling terbuka.” Rangga menyandarkan kepala pada salah satu pot semen di sebelahya dengan mata yang tampak seperti baru terbangun dari tidur siang. “Yang jelas, gara-gara anggota band yang entah berapa kali salah nada, aku udah enggak ada mood buat latihan.” Aku tertawa kecil. Memiliki tala sempurna tidak selamanya menyenangkan, ya.
Dia tidak sepenuhnya salah. Kuhirup udara sebanyak-banyaknya. “Keluargaku juga sama sekali enggak ‘baik-baik saja’. Aku bingung harus cerita dari mana. Karena sampe sekarang aku sendiri juga enggak tau salahnya ada di bagian mana. Mama punya aturannya sendiri yang harus dipatuhi selama aku ada di rumah.
“Mama enggak salah. Dia itu lahir di keluarga yang biasa aja. Sejak kecil punya mimpi masuk sekolah kedinasan, supaya waktu lulus bisa langsung jadi PNS. Fokus kerja sampai waktu yang tepat untuk nikah dan membangun keluarga. Enggak perlu takut soal gaji, atau dana pensiun. Bener-bener kehidupan yang ideal.
“Tapi, dia enggak bisa lulus di jurusan statistika – jurusan impiannya – gara-gara nilai matematikanya selalu kalah sama pendaftar lain. Akhirnya, Mama baru bisa masuk jurusan manajemen di universitas swasta. Dia harus sambil kerja supaya bisa bayar biaya kuliah. Setelah lulus pun masih susah nyari kerjaan ke sana kemari.”
“Itulah kenapa dia kepingin aku fokus di klub matematika, dan enggak ikut ekskul lain. Supaya aku bisa fokus belajar dan enggak perlu ngerasain kegagalan yang sama.” Paru-paruku rasanya seperti semakin kekurangan oksigen. “T-tapi … Mama enggak salah, kok. Mama ngelakuin itu karena dia sayang!” seruku. Entah mengapa aku merasa takut kalao Rangga sampai salah paham.
Pemuda itu mengernyitkan kening. “Iya, iya. Aku enggak pernah bilang dia salah.”
“Ayahku itu cellist. Enggak tau gimana ceritanya mereka bisa saling jatuh cinta, dan akhirnya nikah. Dia orangnya agak dingin dan selalu serius, kayak kamu.” Aku tertawa kecil, lawan bicaraku yang dilirik tampak mengangkat alis. “Ayahku bener-bener keren. Walaupun yah, dia sering marah-marah kalo aku terlalu cerewet.”
“Tapi, yang kudengar dari Mama, ayahku enggak bisa dapet banyak penghasilan dari kerjaannya. Itu bertentangan sama ekspektasi Mama; suami harus bisa memberi nafkah untuk keluarga. Tapi kenyataannya, Mama yang lebih banyak berkorban,” paparku, menghela napas panjang. Bagian itu selalu saja menyakitkan untuk diingat.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] I am (not) a Good Girl
Novela JuvenilBagi Aya yang hidup dengan "good girl syndrome", kebahagiaan orang lain adalah segalanya. Dia akan melakukan apa saja demi itu, termasuk mengorbankan impiannya--menjadi pianis. Semua hanya agar orang-orang melihatnya sebagai anak baik. Suatu hari...