12th Melody: Fifth Symphony 🎵

46 12 22
                                    

“Ah, di situ kamu rupanya, Aya?” Hampir saja kertas musik di depanku tercoret saking kagetnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Ah, di situ kamu rupanya, Aya?” Hampir saja kertas musik di depanku tercoret saking kagetnya. Papa terkekeh, melangkah masuk tanpa menungguku yang sibuk menormalkan detak jantung mempersilakan. “Aya lagi apa? Papa denger kamu terus-terusan ngulangi ‘Piano Sonata no. 16’.”

Aku termenung, menggeleng pelan beberapa saat kemudian. Sesuai janjiku pada Kezia, aku akan mencoba menyusun nada yang cocok untuk puisi milik adiknya. Entahlah, sudah berapa kali. Aku hanya ingin mengakui kelemahanku dalam bidang sastra. Baik itu dalam menyusun, memahami, sampai membaca puisi dengan intonasi yang tepat.

Jika mengandalkan feeling, kurasa puisi dengan tema seperti ini akan cocok dengan Piano Sonata no. 16. Akan tetapi, walaupun karya milik Mozart sudah menjadi domain publik, aku tidak bisa mengambil nadanya mentah-mentah. Sebab itulah, usai menyelesaikan tugas kimia untuk besok, aku bergegas menuju ruang piano sembari membawa kertas kosong untuk menulis partitur hasil modifikasi.

Apa boleh buat? Aku jelas belum sampai secerdas Mozart yang bisa menyelesaikan karyanya semalam sebelum pertunjukan. Hal terbaik yang bisa kulakukan hanya memodifikasi nada pokok yang sudah paten. Namun, aku sungguh tidak menyangka Papa masih bisa mengenali piece ini meski sudah berubah agak jauh dari aslinya.

“Aya sedang nyoba modifikasi piece ini. Iseng aja, sih,” jelasku singkat.

Papa malah menatap aneh, seolah-olah sedang berkata, "Beneran cuma iseng?"

Aku hanya bisa menghela napas panjang. “Ada temen Aya yang pengen ikutan musikalisasi puisi. Nah, dia minta tolong buat bantu nyusun nadanya.”

Tidak, itu tidak sepenuhnya bohong. Secara tidak langsung, adik dari Kezia adalah salah satu temanku juga, bukan? Lagi pula jika usaha ini berhasil, tidak ada salahnya berteman dengan dia juga.

“Gitu, dong. Enggak usah bohong. Nanti hidung Aya panjang.” Papa tersenyum jahil dengan jempol dan telunjuk terulur.

Tanpa pikir dua kali, aku bangkit dari bangku piano, bergegeas berlari menghindar sebelum hidungku menjadi panjang sungguhan karena menjadi mangsa dari cubitan Papa.

Aku tertawa lebar dari ujung ruangan. Lelaki itu sama sekali tidak mengejar, ikut terkekeh. Malah bergerak menarik satu kursi putar yang beberapa hari sebelumnya ia bawa dari ruang kerja. Perlahan aku kembali mendekat, takut-takut jika dia melanjutkan aksinya tersebut. Untungnya tidak.

“Papa cuma mau pengen tau tentang masalah tadi pagi.” Gerakan ujung jari telunjuk yang hanya berjarak beberapa sentimeter lagi dari tuts piano seketika terhenti. Aku berbalik badan, menunggu Papa mulai bicara dengan penuh rasa penasaran. Normalnya, pembicaraan ini akan menjadi sedikit lebih serius. “Bisa Aya ceritakan lebih jelasnya?”

Permintaan tersebut membuat oksigen seolah-olah menjadi lebih berat. Sehingga, sulit sekali masuk memenuhi paru-paru. “Aya enggak tau mau mulai dari mana. Aya juga enggak tau bagian mana yang Papa maksud ‘lebih jelas’. Singkatnya … ya gitu, Aya ada di urutan ketiga, sedangkan yang diperlukan cuma dua perwakilan.”

Aku menunduk dalam, berpegangan erat pada salah satu sisi bangku. Selalu saja begini. Setiap kali ada masalah yang membuat jarak dengan Mama semakin lebar, lidahku selalu kesulitan menjelaskan rentetan kejadiannya. Seandainya bisa dilupakan, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa, semua pasti akan jauh lebih baik. Menyadari kesalahanku sudah lebih dari cukup.

Sebab itulah satu-satunya cara agar masalah yang sama tidak perlu terulang.

“Aya juga enggak tau kenapa. Tapi kalo masalahnya gini, udah pasti karena Aya yang kurang maksimal belajarnya. Aya terlalu sibuk latihan buat ujian kemarin sampe-sampe enggak fokus latihan soal. Jelas kalah sama Fery yang cuma ikut satu ekskul, dan mungkin siang malam cuma belajar matematika.”

Aku cuma mau liat Mama bahagia. Tapi, apa itu artinya aku harus berhenti bermain piano? Aku hanya tersenyum getir. Tidak tahu mengapa rasanya sedikit menyakitkan. Hingga tanpa sadar membuat irama detak jantungku berbeda dari biasanya.

Papa menggeser kursinya mendekat. Sehingga, tangannya bisa lebih mudah menjangkau puncak kepalaku, mengacak-acak rambut sesuka hati. “Jangan berhenti. Itu bukan salah pianomu,” bisik Papa, seolah-olah bisa mendengar kata hati. “Itu sama sekali bukan salah pianomu,” ulangnya dengan penekanan pada setiap kata.

Dada terasa sesak solah-olah sedang bersiap mengeluarkan isak tertahan. Aku mengangguk lemah, menggigit bibir kuat-kuat agar tangisan tidak pecah. Satu hal yang sangat sulit dimengerti adalah mengapa diriku begitu lemah setiap kali Papa mengusap kepalaku, hingga dengan mudah menampakkan luapan emosi yang sesungguhnya.

Sebuah tarikan napas panjang berhasil menormalkan kembali perasaan yang berkecamuk. “Aya enggak akan berhenti, Pa. Tapi, Aya janji akan berusaha ngatur waktu supaya enggak perlu ganggu waktu belajar.” Aku mencoba memperlihatkan senyuman terbaik. “Lagian, sekarang Aya udah dipercaya jadi pengiring violinis hebat.”

[END] I am (not) a Good GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang